Minggu, 13 Juli 2014

Cerpen: Burger Unta di Lakemba

Perjalanan dari Melbourne ke Lakemba membutuhkan waktu sekitar sembilan jam. 5.30 PM, bertepatan dengan terbenamnya matahari, Rafa sudah berada di mobil bersama Mr. Robson, ayahnya.
“Are you fasting?” tanya ayahnya sambil mengemudi.
“Certainly yes! But the cold made me shivering so that I almost die because of that. And a bowl of instant porridge is my problem solving to survive.” Rafa lupa menjual iba.
Tanpa bertanya lebih dalam, tanpa menaruh sedikit perhatian, ayahnya sudah hafal betul bahwa cerita itu adalah rekayasa. Hanya dramatisasi dibalik kejujuran bahwa ia tak berpuasa.
***
“Mooooommmm! Rafa is coming, Rafa is coming!” teriak bocah itu dari balik tirai jendela ruang tengah. Ia berlari ke dapur dan menggandeng tangan ibunya untuk menyambut kedatangan mereka di pintu depan.
Begitu menginjakkan kaki di bibir pintu, Rafa langsung meletakkan tas ranselnya dan menggendong bocah lelaki itu, Amran, adiknya. Meski usia terpaut jauh, mereka sangat terlihat bersahabat. Mrs. Robson mencium pipi anaknya, kemudian mengajak Rafa dan suaminya ke dapur untuk menikmati buka puasa bersama yang sedikit tertunda.
Setelah berkumpul duduk melingkari meja makan, suasana cepat menghangat. Dengan segala cerita yang disuguhkan Rafa untuk keluarga, dan celotehan Amran yang ekspresif. Bocah itu juga tak lupa untuk pamer bahwa ia berhasil puasa seharian, meski puasanya itu hanya musiman. Ya, Amran hanya berpuasa saat musim dingin. Karena waktu berpuasa lebih singkat, yakni sepuluh jam.Berbeda dengan saat musim panas, waktu puasa mencapai enambelas jam.
“Rafa, you have to try all of the foods here!” tawaran Amran penuh antusias. “Ini yang paling utama yang harus kaucicipi,” Amran mendorongkan sepotong burger ke hadapan Rafa.
Dengan cepat jemarinya meraih piring tersebut. Saat mengunyah satu gigitan yang pertama, ia merasa aneh. Tak seperti biasa.
Melihat ekspresi kakaknya, Amran langsung menyeletuk, “daging unta! Enak kan?”
***
Sydney Road adalah kawasan hunian yang mayoritas beragama Islam. Sangat mudah untuk menjumpai restoran halal di kawasan ini. Apalagi bulan puasa, semua berlomba-lomba menjajakan dagangannya. Namun tak ada yang bisa mengalahkan keistimewaan di Lakemba, daerah pedesaan yang merupakan jantung umat Islam di barat daya Sydney, Australia. Di sana ada festival jajanan Ramadhan yang diadakan rutin selama sepuluh tahun terakhir ini; Haldon Street Festival.
“Jangan lupa penuhi janjimu untuk menunjukkanku stan penjual burger daging unta yang paling lezat di tempat ini,” ucap Rafa sambil menunduk pada bocah yang digandengnya itu.
Tak lama kemudian...
“Helo, Amran..” di sela-sela kesibukannya, gadis itu masih sempat menyapa. “Where’s your daddy?” tanyanya setelah ia celingukan tak mendapati ayahnya yang biasa mengantar bocah itu.
“I’m not with him, but....” Amran mendangak, mengajak gadis itu untuk melihat Rafa yang berdiri satu langkah di belakangnya. “He is my brother, Rafa.”
Reflek lelaki itu mengulurkan tangannya kepada gadis itu sebagai salam perkenalan. Namun ditolak.
“My name is Yasmin.
***
Hari keempat setelah perkenalan itu, Rafa berhasil mengelabui Amran, dan ia pergi sendiri membeli burger di tempat Yasmin. Tapi ia belum mujur, berpura-pura mengantre hingga satu jam, gadis itu tak kunjung terlihat.
“Oh, itu anak saya. Tapi untuk tiga hari ke depan dia tidak bisa membantu Ibu berjualan di sini. Dia bersama organisasi kampusnya sedang melakukan kunjungan ke Masjid Canberra.” Meski sedang asyik menata susunan burger pesanan Rafa, ibu itu menjelaskan dengan ramah dan jelas. “Kamu temannya Yasmin?” lanjutnya. Kali ini tatapannya tertuju ke Rafa.
Lelaki yang menjadi lawan bicaranya itu tampak gerogi. Namun untung saja Amran dan orangtuanya segera datang.
“Wow, jadi kamu anaknya Pak Robson yang kuliah di Melbourne?” ekspresi terkejut itu muncul bagaikan ice breaker yang bisa membuat suasana canggung meleleh begitu saja. “Orangtuamu langganan burger di sini, dan adekmu sangat suka burger buatan Yasmin,” tambahnya.
Mereka semua tertawa gembira, kecuali Rafa. Sesuatu sedang menghiruk di pikirannya.
***
Setelah tiga hari Rafa tak pergi,  ia mengajak Amran ngabuburit ke Haldon Street lebih gasik. Ia berkiprah dengan sepeda motornya agar lebih cepat sampai, dan memiliki waktu lebih lama untuk ngobrol dengan anak pemilik stan burger unta itu.
Sore itu Lakemba diguyur hujan. Haldon Street sedikit lebih lengang daripada hari-hari biasanya. Sepi pengunjung.
“Jadi, bagaimana puasamu sejauh ini? Lancar?” tanya Yasmin.
“ Ah! Kak Rafa masih kalah sama aku. Aku bisa puasa full di musim dingin, kalau Rafa masih males-malesan. Hanya karena kedinginan saja dia membatalkan puasanya dengan bubur instan. Hahaha,” sahut Amran cepat.
“Puasa musiman aja sombong! Mending juga aku, rutin tapi nggak teratur. Haha.” Rafa tak sadar bahwa obrolan mereka barusan bisa merubah cara pandang Yasmin terhadapnya.
Alis Yasmin hampir bertaut. Mengkerut.  “Di usiamu yang sudah dewasa ini, kamu belum bisa puasa penuh, Rafa??” tanya Yasmin heran.
Keadaan berubah tiba-tiba. Ekspresi kecewa tampak di wajah Yasmin yang mulai kalut.
Gadis muslimah itu sudah menantikan kedatangan sosok lelaki yang selalu diceritakan Mr. Robson. Ia belajar mengakrabkan diri dengan Amran untuk mempersiapkan momen ini tiba. Tapi ternyata keindahan yang ada di pikirannya cepat sirna. Bulir-bulir cinta yang tumbuh saat pertama Amran menunjukkan Rafa di hadapannya itu tak lagi indah. Rafa, mengapa tak beragama dengan baik? Bahkan dengan bangganya ia mengaku kalau puasa yang dijalankannya tak teratur. Bagaimana bisa lelaki seperti ini menjadi imam yang baik untuknya kelak, jika menjalankan kewajibannya saja tak sempurna.
Hal tersebut diketahui oleh Rafa setelah ia berusaha mencari akun facebook-nya. Bermodalkan nama lengkap yang ia ketahui, Yasmin Shalimar, Rafa membuka satu persatu foto profil dari sekian banyak akun yang bernama sama. Ia mengirim pesan pribadi kepada Yasmin yang berisi permintaan maaf telah mengecewakan dan menghancurkan perasaannya.
Sudah berhari-hari mereka tak bertemu. Bahkan Rafa lebih memilih untuk tinggal di rumah saat keluarganya ngabuburit dan membeli makanan kesukaan mereka. Ia merasa percuma untuk menemui gadis yang sedang patah hati. Ia lebih memilih untuk menyelesaikan masalahnya lewat pesan pribadi di facebook.
Burger daging unta yang dulu terasa lezat dan selalu menggairahkan untuk disantap, kini terasa pias. Hambar. Seperti ada bumbu yang kurang dalam penyajiannya. Padahal, tak ada yang salah dalam cara memasaknya. Namun hatilah yang bermasalah. Hati yang kalut membuat makanan terlezat menjadi tak lezat. Rafa selalu meletakkan burger setelah gigitan pertama, mendorong ke tengah meja, dan meninggalkannya masuk kamar. Makanan terlezat yang pernah ia makan itu selalu berhenti di tenggorokan. Tak nyaman.
Rafa selalu berpikir bagaimana caranya mengubur keterpurukan, dan bagaimana caranya mengembalikan kelezatan burger unta seperti pertama saat ia tiba di Lakemba.
Suatu malam seusai shalat tarawih, Rafa menyusuri Haldon Street sendirian. Kali ini ia tak kalut karena kedatangannya sudah disetujui oleh Yasmin. Setiba di tempat, sepi. Sudah tutup. Lalu Rafa menanyakan alamat rumah kepada bapak-bapak penjual kebab yang masih menjajakan makanannya.
Ternyata rumahnya tak jauh dari tempat Yasmin berjualan.
Mereka berbincang di ruang tamu, namun kali ini Rafa lebih menjaga perkataannya agar tak mengecewakan Yasmin untuk kedua kalinya.
“Tunggu sebentar ya,” pamit Yasmin masuk ke ruang tengah. Tak lama kemudian, ia kembali, tangannya membawa nampan.
“Satu burger daging unta untuk Rafa.”
“Nggak. Aku nggak mau makan ini,” tukasnya tanpa berpikir panjang. Namun sebelum Yasmin bertanya terheran-heran, ia langsung membuka mulut. “Semenjak hari itu, burger yang aku makan tak lagi lezat, sekarang aku takut bahwa burger yang ada di hadapanku ini adalah burger yang jauh lebih buruk. Kenapa? Karena aku takut kekecewaanmu kala itu akan menutup hatimu buat aku. Jadi, aku pengen kamu....”
“Jangan salah!” Yasmin segera memotong pembicaraan Rafa. “Aku mempersilakan kamu makan ini dengan satu syarat; kamu mau berpuasa. Kamu sudah dewasa, berubahlah menjadi orang yang lebih baik, jadilah seorang muslim dewasa yang diidamkan seorang muslimah.”
Tanpa berpikir panjang, Rafa mengangguk mantap.


Tantangan menulis #ekspresipuasa
@KampusFiksi

3 komentar:

  1. hoaaa I hope It can be longer more than this! truly nice :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. ahaha thankyou so much! actually i have longer than this one, but i have to posting with limited characters so that I cut my story as you seen here.

      Hapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus

Sederhana, tidak sempurna, kesalahan pasti ada. Bagaimana menurutmu?