Rabu, 16 Juli 2014

Cerpen: Kue Lezat Untuk Si Kembar


                Tepung beras yang sudah terkukus pulen dimasukkan ke dalam wadah, ditempatkan pada loker gerobaknya. Bocah ragil yang berusia sepuluh tahun itu senantiasa membantu persiapan yang dilakukan bapaknya di siang hari. Tangannya begitu lihai mengadukan pisau dengan benda berwarna cokelat yang telah tercetak dengan tempurung kelapa. Wadah plastik bekas sosis instan itu menjadi tempat bertautnya rajangan gula jawa yang lembut. Gula pasir, kelapa dan parutannya, telah ia letakkan di gerobak. Tak lupa ia mengelap daun pisang dan menumpuknya dengan kertas koran.
                Setelah memasukkan kompor ke dalam gerobak, Pak Udin menumpangkan panci yang berisi air untuk direbus selama perjalanan. Setelah berpamitan dan anaknya mencium tangan, perlahan ia kayuh sepeda tuanya, berangkat kerja mencari nafkah. Ia keliling mengitari perkampungannya dan lanjut berjalan menjajakan dagangannya.
***
                Belva menyampirkan handuk di tempatnya. Setelah mandi, ia berniat hendak menghias diri di depan meja rias kamarnya. Sebelum masuk kamar ia baru menyadari satu hal; rumahnya mendadak sepi. Tak terdengar satupun tanda keberadaan orang selain dia. Lantas ia berjalan celingukan mencari-cari anggota keluarganya yang lain. Ruang makan, ruang tengah, ruang tamu, dan bahkan setiap kamar telah ia pastikan bahwa penghuninya tidak diketahui keberadaanya.
                “Loh, kalian di sini? Orang-orang yang lain pada ke mana?” tanyanya setelah ia mendapati kedua adik kembarnya sedang bermain di taman samping rumah. “Mama, papa, Mbak Ayu, Mbak Yuni, ha?” Pertanyaan itu berjejal di pikirannya, ia keheranan.
                “Mama papa pergi, nggak tau ke mana. Tadi keliatan keburu-buru banget, nggak sempat tanya deh.” Jawab Bedu sambil mendangak ke arah Belva.
                “Mbak Yuni tadi pergi sama pacarnya. Mbak Ayu ngerjain tugas,” sambung Banu tanpa menatap lawan bicaranya. Ia terus asyik dengan mainan yang mungkin lebih menarik.
                Belva mengembus napas kesal sebelum  menggertakkan langkahnya masuk ke rumah, kemudian menghempaskan dirinya di kursi ruang tamu.
                “Huh! Kenapa orang-orang udah pergi gitu aja sih? Mana belum sempat minta uang ke mama pula!” rutuknya.
***
                “Mbak, kita lapar, tapi tudung saji nggak ada isinya.”
                “Mama papa kapan pulang?”
                “Mbak punya uang berapa?”
                “Aku pengen makan nasi padang.”
                Bocah kembar itu bersahutan di depan Belva yang sedang asyik tiduran di kamarnya. Namun keluhan itu tidak diindahkan, ia justru dibuat kesal oleh keluhan yang mendarat di telinganya. Ingin membentak tapi tak tega.
                Setengah jam lewat maghrib, orangtuanya belum juga memberikan kabar. Sedangkan kedua kakaknya yang lain belum bisa pulang saat itu. Gadis yang sedang duduk di bangku kelas dua SMP itu tak memiliki tabungan banyak. Maklum, kantong pelajar.
                Ia berusaha mengingat-ingat dan mencari di mana saja kemungkinan ia menaruh uang. Namun tak bisa, hanya ada selembar uang di dompetnya yang nestapa. Uang kertas bergambar wajah Imam Bondjol.
                “Mbak cuma punya uang segini. Nggak cukup buat beli nasi padang lauk ayam.” Ucapannya bagaikan kabar buruk bagi kedua bocah itu, mereka langsung tertunduk lesu.
                Di tengah sepinya suasana malam, samar-samar suara mirip peluit terdengar dari kejauhan.  Si kembar saling menatap, kemudian muncul pencerahan pada parasnya masing-masing.
                “Kita jajan itu aja! Lima ribu cukup buat bertiga!” ucap Banu semangat.
                Tanpa menunggu jawaban, Banu menyahut uang dari tangan kakak perempuannya itu. Mereka berlari gontai keluar rumah, sesegera mungkin untuk memanggil dan menghentikan penjual keliling yang sedang lewat mengayuh sepeda itu.
                “Berapa harga, Pak?”
                “Satunya lima ratus, Nak.”
                “Beli sepuluh, Pak!”
                Kedua bocah itu berkiprah menunggu pesanannya. Sambil berdiri di samping gerobak sepeda bapak itu, mereka mengamati setiap detail gerakan tangan penjual.
                Jajanan tradisional itu dibuat dengan cetakan dari bambu, bulat dan kecil. Panjangnya tak lebih dari sepuluh senti. Setengah dari cetakan itu diisii adonan yang terbuat dari kukusan tepung beras putih, kemudian diberi selingan gula jawa sebagai bumbu dan pemberi rasa manisnya. Lagi, dimasukkan lagi adonan tepung beras di atasnya. Dipadatkan. Pada akhirnya, warna cokelat gula jawa akan menjadi penengah dari kedua sisi putihnya warna tepung beras.
                Adonan yang sudah dicetak tadi, diletakkan di atas lubang uap. Sebagai daya tarik dan penggelitik perut selama pelanggannya menanti, penjual itu meletakkan daun pandan dalam air yang direbusnya. Sehingga menimbulkan aroma wangi yang sedap dihirup.
Melalui pendiaman beberapa menit, penjual itu segera mengangkatnya. Kue ini sudah jadi. Dorongan dari tongkat kecil akan membantu mengeluarkan kue dari cetakannya. Menatanya mudah, langsung dipapankan pada kulit pisang yang sudah tertata dan berlambar kertas koran. Lagi, ia melakukan hal ini pada kue-kue berikutnya. Begitu seterusnya. Sampai sepuluh kue sudah tersaji dan siap dibungkus.
                Namun sebelum penjual itu menyudahi semuanya, ia menaburkan kelapa di bagian atasnya, dan juga gula pasir. Sudah jadi. Karya bungkusan yang dibuat penjual itu tidak seperti bungkusan nasi warteg atau nasi padang yang diikat atau diklip pada sisi atasnya. Namun yang ditautkan adalah kedua sisi samping kanan dan kiri, dengan stapler.
                “Silakan, Nak..” ucap penjual dengan ramah sambil memberikan kue pesanannya.
                “Makasih, Pak.”
                Bedu menyahut bungkusan itu dan dengan semangat mereka membawanya masuk rumah. Menghampiri Belva yang sedari tadi duduk menantinya di teras.
                Di ruang tengah, mereka duduk sambil menonton televisi. Bedu tak sabar ingin menyantap jajanan tradisionalnya itu. Setelah dibuka, heummmm... aromanya sangat membius. Harum dan sedap. Apalagi kepulan uap kehangatan yang menari-nari lihai di atas makanan itu. Semakin memikat jemari untuk mengambilnya.
                Satu kue diraih Banu terlebih dahulu, mulutnya kepanasan memamah gigitan pertamanya. Ia mengibas-ngibaskan tangan di depan mulutnya yang terbuka. Lezat. Ia meniup-niup kuenya sebelum melakukan gigitannya yang kedua.
                Sepuluh kue putu untuk ketiga kakak beradik yang sedang lapar. Meski kenyangnya tak seberapa, tapi makanan tradisional yang rasanya gurih dan manis itu dapat membuat perut terasa nyaman anti keluhan.


- Jumlah kata : 882 kata
- Menggunakan tiga kata 'kemudian'
- Masing-masing satu kata 'lantas' dan 'terus'
- Tanpa menggunakan kata 'lalu' 

 
Sumber inspirasi dan hak milik gambar: http://awkulinerologi.wordpress.com




Tantangan menulis #DeskripsiBakso

Minggu, 13 Juli 2014

Cerpen: Burger Unta di Lakemba

Perjalanan dari Melbourne ke Lakemba membutuhkan waktu sekitar sembilan jam. 5.30 PM, bertepatan dengan terbenamnya matahari, Rafa sudah berada di mobil bersama Mr. Robson, ayahnya.
“Are you fasting?” tanya ayahnya sambil mengemudi.
“Certainly yes! But the cold made me shivering so that I almost die because of that. And a bowl of instant porridge is my problem solving to survive.” Rafa lupa menjual iba.
Tanpa bertanya lebih dalam, tanpa menaruh sedikit perhatian, ayahnya sudah hafal betul bahwa cerita itu adalah rekayasa. Hanya dramatisasi dibalik kejujuran bahwa ia tak berpuasa.
***
“Mooooommmm! Rafa is coming, Rafa is coming!” teriak bocah itu dari balik tirai jendela ruang tengah. Ia berlari ke dapur dan menggandeng tangan ibunya untuk menyambut kedatangan mereka di pintu depan.
Begitu menginjakkan kaki di bibir pintu, Rafa langsung meletakkan tas ranselnya dan menggendong bocah lelaki itu, Amran, adiknya. Meski usia terpaut jauh, mereka sangat terlihat bersahabat. Mrs. Robson mencium pipi anaknya, kemudian mengajak Rafa dan suaminya ke dapur untuk menikmati buka puasa bersama yang sedikit tertunda.
Setelah berkumpul duduk melingkari meja makan, suasana cepat menghangat. Dengan segala cerita yang disuguhkan Rafa untuk keluarga, dan celotehan Amran yang ekspresif. Bocah itu juga tak lupa untuk pamer bahwa ia berhasil puasa seharian, meski puasanya itu hanya musiman. Ya, Amran hanya berpuasa saat musim dingin. Karena waktu berpuasa lebih singkat, yakni sepuluh jam.Berbeda dengan saat musim panas, waktu puasa mencapai enambelas jam.
“Rafa, you have to try all of the foods here!” tawaran Amran penuh antusias. “Ini yang paling utama yang harus kaucicipi,” Amran mendorongkan sepotong burger ke hadapan Rafa.
Dengan cepat jemarinya meraih piring tersebut. Saat mengunyah satu gigitan yang pertama, ia merasa aneh. Tak seperti biasa.
Melihat ekspresi kakaknya, Amran langsung menyeletuk, “daging unta! Enak kan?”
***
Sydney Road adalah kawasan hunian yang mayoritas beragama Islam. Sangat mudah untuk menjumpai restoran halal di kawasan ini. Apalagi bulan puasa, semua berlomba-lomba menjajakan dagangannya. Namun tak ada yang bisa mengalahkan keistimewaan di Lakemba, daerah pedesaan yang merupakan jantung umat Islam di barat daya Sydney, Australia. Di sana ada festival jajanan Ramadhan yang diadakan rutin selama sepuluh tahun terakhir ini; Haldon Street Festival.
“Jangan lupa penuhi janjimu untuk menunjukkanku stan penjual burger daging unta yang paling lezat di tempat ini,” ucap Rafa sambil menunduk pada bocah yang digandengnya itu.
Tak lama kemudian...
“Helo, Amran..” di sela-sela kesibukannya, gadis itu masih sempat menyapa. “Where’s your daddy?” tanyanya setelah ia celingukan tak mendapati ayahnya yang biasa mengantar bocah itu.
“I’m not with him, but....” Amran mendangak, mengajak gadis itu untuk melihat Rafa yang berdiri satu langkah di belakangnya. “He is my brother, Rafa.”
Reflek lelaki itu mengulurkan tangannya kepada gadis itu sebagai salam perkenalan. Namun ditolak.
“My name is Yasmin.
***
Hari keempat setelah perkenalan itu, Rafa berhasil mengelabui Amran, dan ia pergi sendiri membeli burger di tempat Yasmin. Tapi ia belum mujur, berpura-pura mengantre hingga satu jam, gadis itu tak kunjung terlihat.
“Oh, itu anak saya. Tapi untuk tiga hari ke depan dia tidak bisa membantu Ibu berjualan di sini. Dia bersama organisasi kampusnya sedang melakukan kunjungan ke Masjid Canberra.” Meski sedang asyik menata susunan burger pesanan Rafa, ibu itu menjelaskan dengan ramah dan jelas. “Kamu temannya Yasmin?” lanjutnya. Kali ini tatapannya tertuju ke Rafa.
Lelaki yang menjadi lawan bicaranya itu tampak gerogi. Namun untung saja Amran dan orangtuanya segera datang.
“Wow, jadi kamu anaknya Pak Robson yang kuliah di Melbourne?” ekspresi terkejut itu muncul bagaikan ice breaker yang bisa membuat suasana canggung meleleh begitu saja. “Orangtuamu langganan burger di sini, dan adekmu sangat suka burger buatan Yasmin,” tambahnya.
Mereka semua tertawa gembira, kecuali Rafa. Sesuatu sedang menghiruk di pikirannya.
***
Setelah tiga hari Rafa tak pergi,  ia mengajak Amran ngabuburit ke Haldon Street lebih gasik. Ia berkiprah dengan sepeda motornya agar lebih cepat sampai, dan memiliki waktu lebih lama untuk ngobrol dengan anak pemilik stan burger unta itu.
Sore itu Lakemba diguyur hujan. Haldon Street sedikit lebih lengang daripada hari-hari biasanya. Sepi pengunjung.
“Jadi, bagaimana puasamu sejauh ini? Lancar?” tanya Yasmin.
“ Ah! Kak Rafa masih kalah sama aku. Aku bisa puasa full di musim dingin, kalau Rafa masih males-malesan. Hanya karena kedinginan saja dia membatalkan puasanya dengan bubur instan. Hahaha,” sahut Amran cepat.
“Puasa musiman aja sombong! Mending juga aku, rutin tapi nggak teratur. Haha.” Rafa tak sadar bahwa obrolan mereka barusan bisa merubah cara pandang Yasmin terhadapnya.
Alis Yasmin hampir bertaut. Mengkerut.  “Di usiamu yang sudah dewasa ini, kamu belum bisa puasa penuh, Rafa??” tanya Yasmin heran.
Keadaan berubah tiba-tiba. Ekspresi kecewa tampak di wajah Yasmin yang mulai kalut.
Gadis muslimah itu sudah menantikan kedatangan sosok lelaki yang selalu diceritakan Mr. Robson. Ia belajar mengakrabkan diri dengan Amran untuk mempersiapkan momen ini tiba. Tapi ternyata keindahan yang ada di pikirannya cepat sirna. Bulir-bulir cinta yang tumbuh saat pertama Amran menunjukkan Rafa di hadapannya itu tak lagi indah. Rafa, mengapa tak beragama dengan baik? Bahkan dengan bangganya ia mengaku kalau puasa yang dijalankannya tak teratur. Bagaimana bisa lelaki seperti ini menjadi imam yang baik untuknya kelak, jika menjalankan kewajibannya saja tak sempurna.
Hal tersebut diketahui oleh Rafa setelah ia berusaha mencari akun facebook-nya. Bermodalkan nama lengkap yang ia ketahui, Yasmin Shalimar, Rafa membuka satu persatu foto profil dari sekian banyak akun yang bernama sama. Ia mengirim pesan pribadi kepada Yasmin yang berisi permintaan maaf telah mengecewakan dan menghancurkan perasaannya.
Sudah berhari-hari mereka tak bertemu. Bahkan Rafa lebih memilih untuk tinggal di rumah saat keluarganya ngabuburit dan membeli makanan kesukaan mereka. Ia merasa percuma untuk menemui gadis yang sedang patah hati. Ia lebih memilih untuk menyelesaikan masalahnya lewat pesan pribadi di facebook.
Burger daging unta yang dulu terasa lezat dan selalu menggairahkan untuk disantap, kini terasa pias. Hambar. Seperti ada bumbu yang kurang dalam penyajiannya. Padahal, tak ada yang salah dalam cara memasaknya. Namun hatilah yang bermasalah. Hati yang kalut membuat makanan terlezat menjadi tak lezat. Rafa selalu meletakkan burger setelah gigitan pertama, mendorong ke tengah meja, dan meninggalkannya masuk kamar. Makanan terlezat yang pernah ia makan itu selalu berhenti di tenggorokan. Tak nyaman.
Rafa selalu berpikir bagaimana caranya mengubur keterpurukan, dan bagaimana caranya mengembalikan kelezatan burger unta seperti pertama saat ia tiba di Lakemba.
Suatu malam seusai shalat tarawih, Rafa menyusuri Haldon Street sendirian. Kali ini ia tak kalut karena kedatangannya sudah disetujui oleh Yasmin. Setiba di tempat, sepi. Sudah tutup. Lalu Rafa menanyakan alamat rumah kepada bapak-bapak penjual kebab yang masih menjajakan makanannya.
Ternyata rumahnya tak jauh dari tempat Yasmin berjualan.
Mereka berbincang di ruang tamu, namun kali ini Rafa lebih menjaga perkataannya agar tak mengecewakan Yasmin untuk kedua kalinya.
“Tunggu sebentar ya,” pamit Yasmin masuk ke ruang tengah. Tak lama kemudian, ia kembali, tangannya membawa nampan.
“Satu burger daging unta untuk Rafa.”
“Nggak. Aku nggak mau makan ini,” tukasnya tanpa berpikir panjang. Namun sebelum Yasmin bertanya terheran-heran, ia langsung membuka mulut. “Semenjak hari itu, burger yang aku makan tak lagi lezat, sekarang aku takut bahwa burger yang ada di hadapanku ini adalah burger yang jauh lebih buruk. Kenapa? Karena aku takut kekecewaanmu kala itu akan menutup hatimu buat aku. Jadi, aku pengen kamu....”
“Jangan salah!” Yasmin segera memotong pembicaraan Rafa. “Aku mempersilakan kamu makan ini dengan satu syarat; kamu mau berpuasa. Kamu sudah dewasa, berubahlah menjadi orang yang lebih baik, jadilah seorang muslim dewasa yang diidamkan seorang muslimah.”
Tanpa berpikir panjang, Rafa mengangguk mantap.


Tantangan menulis #ekspresipuasa
@KampusFiksi