Rabu, 09 September 2015

The Agent of Change


Sudah cukup aku hidup jadi benalu. Terkatung-katung menjalani aktifitas harian tanpa tau tanggung jawab dan tujuan masa depan. Berbicara masa depan, sedikit menyeramkan, memang. Karena kita tak pernah tau apa yang akan terjadi esok hari. Terlebih, perubahan pikiran yang bisa melanda kapan saja.

Sembilan belas tahun aku melahap nikmat hasil usaha dan jerih payah orang tua. Ya, meskipun aku masih menjadi tanggungan mereka, tapi, tak ada yang tau kan kalau (maaf) krisis ekonomi bisa melanda kapan saja?
Selama ini, aku adalah konsumen aktif untuk tiap rejeki yang mereka dapatkan. Uang, terutama, dan yang paling utama. Cuma bisa merengek, minta ini atau itu, untuk keperluan ini dan juga itu. Minta-dikasih-habis-minta lagi. Begitu seterusnya.

Aku, remaja yang usianya hampir dua puluh tahun ini, belum sepenuhnya hidup mandiri dan berkembang. Haha, mandiri? Tau apa aku tentang kata itu? Apalagi berkembang.

Sore kemarin, aku berpikir. 
Aku sudah lulus SMA, dan kini menyandang status sebagai mahasiswa. Mahasiswa, dosenku bilang itu terdiri dari dua kata, yaitu Maha dan Siswa. Siswa yang paling maha? Mungkin begitu, atau bukan? Oke, lupakan. Yang intinya, aku bukan sebuah robot yang setiap pagi dibangunkan oleh  dering alarm untuk kemudian mandi dan pergi sekolah dengan berseragam rapi. Aku bukan robot yang disetting untuk belajar di sekolah selama delapan jam dan kemudian pulang untuk tidur siang. Aku bukan robot yang menjalani aktifitas rutin tanpa hasil yang memuaskan. Pas-pasan.

Justru aku merasa mati, tidak hidup. 
Tadi pagi aku terbangun dan bangkit, baru akan mencoba untuk hidup. Menghidupi kehidupan yang sesungguhnya. Bahwa aku tidak mau, tidak bisa, dan tidak boleh terus-terusan seperti itu. 
Aku harus bisa mencetak perubahan dan mengembangkan diriku sendiri, dari segi apapun. Tak mau lagi seperti kemarin, seperti anak SMA yang hanya tau sekolah tanpa tau buat apa, kelak akan bagaimana, dan mau jadi apa. Kalau cuma kuliah, sedikit belajar, main-main dan minta duit, apa bedanya aku dengan saat SMA? Tidak ada. Sungguh buruk, kan? Betapa kasihannya aku kalau masih saja menikmati zona nyaman sebagai benalu, seperti tak tau apa artinya hidup yang sesungguhnya.


Belajar yang rajin dan menjadi berprestasi itu sudah cukup membuat Ibu bangga, katanya. Tapi, kok garing ya? Lagu lama, sudah basi. Tenang saja, Bu, aku akan menjadi lebih dari itu. Yang InsyaAllah tidak akan (lagi) mencampur-adukkan kebutuhan pribadiku bersama tanggunganmu. Sudah cukup banyak beban yang kaupikul, meski kaupikir aku tak tahu. Tapi sungguh, aku melangkah untuk sedikit merasakan bagaimana pekerjaan sehari-harimu, dan bagaimana berjuang untuk seamplop uang.



With love,
A daughter who wants to be as great as you, Mom.