Senin, 01 Desember 2014

Praise of November

Today is the first day of this month and absolutely I would like to welcoming it like others. So, let me say "Welcome December" :) I just want to write this in the end of November, but I skipped my promise yesterday without any post. Sounds bad, I know. Don't be so serious because its just a post which tell about new experiences in a month.
November memberiku beberapa kisah baru, cerita baru, bersama orang baru di lingkungan yang baru. Aku lupa untuk mencatatnya dalam sebuah memori tertulis. Tapi aku sudah berniat untuk mengingatnya sampai akhirnya kutulis dalam sebuah post pengisi blog.
November menyeretku dalam lingkungan baru, dengan seluruh tugas dan tanggungjawab sebagai bumbu mutlaknya. AIESEC. Suatu organisasi mahasiswa yang pertama kali kudengar saat aku menduduki bangku kelas dua SMA. Saat itu juga aku memiliki keinginan untuk kelak ketika aku sudah menjadi mahasiswa, I will join it. Tapi faktanya, aku tidak mengejar bagaimana aku harus meraih apa yang kuinginkan. Aku lebih mengejar universitas terbaik untukku melanjutkan studiku. Sampai pada akhirnya, UPN-lah tempatku bertaut. Ketika demo ukm, aku melihat satu stand yang menyita perhatianku. Suatu stand yang terhias bendera negara-negara di dunia. Maka stand itulah yang mengingatkanku pada keinginan yang pernah aku citakan.Ya! AIESEC Yogyakarta hanya terdapat di UGM dan UPN. So, i think, join AIESEC is a must.
Finally yeahhhh~~ Im part of AIESEC INDONESIA. Cukup bangga menjadi salah satu dari 35 newies here yang melewati beberapa seleksi yang........bagi temanku itu 'enggak banget' karena mereka mengundurkan diri dengan test yang menurut mereka itu 'ribet'. But i can stand to against it, and I pass it well :)
Berkat ini juga, untuk pertama kalinya aku mengalami kecelakaan motor. Finally aku tau bagaimana rasanya tertabrak dan jatuh dari motor. Itu pengalaman pertama selama usiaku yang hampir sembilan belas ini. AIESEC memberiku kisah yang baru, untuk menjadi orang yang lebih serius dengan pekerjaan atau tugas yang harus dijalankan, juga menuntutku untuk memiliki komitmen dan konsekuen. Berdasar departmen yang aku tempati saat ini, aku punya pengalaman baru bagaimana membuat proposal dan selling pada lembaga-lembaga dengan public speaking dan attitude yang baik. Aku yakin ini akan menjadi jalanku untuk masa kerjaku kelak yang proffesional.
CRAST adalah KSM jurusan yang aku pilih, mengambil konsentrasi pada radio yang juga ternyata dijalankan oleh mahasiswi public relation. Oke, jalanku semakin dekat (?) Di sini aku dihadapkan dengan kenyataan bahwa aku terlibat dalam sebuah event yang tidak kecil. Merry Riana dan Kemal Palevi, wow! aku terlibat dengan event mereka! Aku terlibat dalam sebuah pekerjaan yang menyiapkan event atas nama mereka.
Aku merasa November memberiku hal yang baru. Meski tidak seberapa, tapi setidaknya aku tahu bahwa ada perubahan yang terjadi dalam diriku. Dan untuk bulan Desember, aku nggak mau menjalani hari dengan 'gitu-gitu aja'. Aku harus menyiapkan perubahan lain. Di awal bulan ini, aku mulai membuka diri dan bersiap menyambut kejutan yang akan Tuhan berikan. Semoga bulan ini menutup tahun 2014-ku dengan indah dan berkesan :)

Rabu, 26 November 2014

When He Falls In Love

Ketika dia jatuh cinta..
Aku benar-benar tau apa yang dia rasakan. Layaknya cewek-cewek lain yang kegirangan saat berpapasan dengan cowok tampan yang diidolakan.
Ketika dia jatuh cinta..
Aku menyimak ekspresinya. Bagaimana dia bercerita, bagaimana ia menyalurkan kebahagiannya melalui tatapan mata sendunya.
Jari-jari lentiknya, bergerak piawai menutupi wajah yang terlihat semu merah jambu. Malu.
Ketika dia jatuh cinta..
Aku mulai paham, dan mengerti bahwa dia datang membawa kenyataan yang belum pernah aku temukan.

Suatu kesalahan terbesarku, pernah memandangmu sebelah mata. Penuh dengan keanehan.
Tapi aku sadar, kamu pantas untuk kujadikan teman. Sangat pantas. Kamu memahamiku seperti sahabatku yang lain.
Bahkan sekarang, satu titik kekagumanku tersimpan pada dirimu. Kau mampu tampil dengan pembawaan dirimu sendiri, tak ada yang kaututupi.
Kauabaikan cibiran orang.
Bahkan aku melihat, semua orang merasa senang berteman dengan kamu.


Salam,
Satu dari sekian teman barumu.

Sabtu, 20 September 2014

I'm Only Me When I'm With You


Mungkin kata sapaan 'hai' dan 'helo' adalah basa-basi yang paling basi saat disuguhkan terhadap orang yang pernah memiliki arti penting dalam keseharian, ditambah senyuman buaya yang padahal kita sama-sama tau bahwa ada banyak hal yang harus kita bicarakan lebih dari sekadar sapaan. Kondisi ini telah berbeda dengan dulu saat kita masih menjadi pribadi yang saling mengenal, saling mengetahui dan benar-benar menjadi diri sendiri ketika bersama. Namun beberapa bulan terakhir ini, masing-masing dari kita terseret oleh dimensi waktu yang menyita komunikasi dan pertemuan. Krisis keduanya.
“Kita” yang dulu saling menopang, tinggallah “aku” dan “kamu” yang hanya bisa saling melihat. Tak ada orang lain yang pandai memahamiku kecuali kamu yang kupercaya untuk mengetahui jati diriku. Kembalilah menjadi kita, karena aku adalah aku saat aku bersamamu.
***
"I don't try to hide my tears
The secrets, or my deepest fears
Through it all nobody gets me like you do
And you know everything about me"


#fiksilaguku @kampusfiksi
NP: I'm Only Me When I'm With You
- Taylor Swift - 

Selasa, 02 September 2014

Eh anak kuliahan

Holaaa ma blog! Been so long I do not visit you. Last three weeks ago and its ma weird post I think. Everyone talk about their university nowadays, and I wont to be just a reader, I want to share mine, too. Ok, let me start!

At first, aku punya mimpi untuk menjadi mahasiswi universitas negeri di Yogyakarta. Jangankan aku, bahkan semua orang pasti berkeinginan dan bermimpi untuk melanjutkan studinya di kampus ternama di Yogyakarta. Sebut saja itu kampus UGM. Ya, karena memang itu namanya. #plak. Namun pada akhirnya, mimpi hanyalah mimpi. Mimpiku itu tinggal kenangan. #halah. Sekarang, aku hanyalah salah satu dari jutaan orang yang PERNAH berharap. Sampai akhirnya aku sadar, aku tak sepintar itu, aku tak sepintar mereka yang sukses melewati tesnya, aku tak sepantas itu untuk mewujudkan mimpiku, aku tak cukup berhasil untuk memberi hadiah kedua orangtuaku dengan kabar gembira dari anak bungsunya ini.
Aku kira, dengan mengais-ngais kesempatan sampai pada tahap terakhir, aku akan menemukan titik terang. Ya, kukira. Kukira Tuhan menyelipkan surat gembira di akhir-akhir tes yang kukerjakan. Di mana beberapa temanku sudah menyerah dan memutuskan untuk bertaut di Perguruan Tinggi Swasta pilihan mereka. Tapi akhirnya, aku gagal juga. Gagal lagi kecewa lagi. Bahkan dengan jujur aku merasa cukup puas dengan tes ketrampilan dan wawancara untuk prodi bahasa Inggris di UNY, aku tak keberatan untuk berpikir positif bahwa aku....ya, ah sudahlah, abaikan. Aku hampir gak percaya saat nomor tesku tak terpampang di halaman pengumuman. Dengan bodoh aku berpikir bahwa nomor dan namaku bisa muncul dengan tiba-tiba. Tapi..ENGGAK! Seberapa lama aku menatap, itu hanya akan tetap menjadi jawaban yang buruk. Istighfar deh, mana bukti positif thinking yg selalu gencar dibicarakan orang? Hoax!
Aku anggap itu adalah tamparan Tuhan. Aku harus segera bangkit dengan realita yang tak sesuai dengan harapan. Seolah debu menegurku, "seberapa besar usahamu?" Dan angin, tetap saja memberi isyarat kegagalan.

Second, UPN. 
Hay..canggung banget rasanya. Aku masih nggak yakin kalau pada akhirnya aku menyanding status sebagai (calon) mahasiswi UPN. Sekali lagi aku tertampar, "ini swasta lho Cel, nggak ada lagi kesempatan untuk negeri." IYA DEH BANG, IYA!
Aku ngrasa gak cocok dengan orang-orang di (grup Line) sana. Entahlah, mungkin karena aku masih hidup dengan reruntuhan puing masa lalu. #ABAIKAN. Sampai pada saat gathering, voila! welcome! Aku sangat senang cekaliiiii~ Alhamdulilah punya kenalan yang baik-baik. Pertama kali ketemu mereka, memang harus cerewet. Karena yang pendiam akan tertindas. Orang-orang di sana terlalu mudah untuk tertawa dan bahagia. Maka aku juga harus begitu.

At least...
Terimakasih Tuhan, Engkau telah mempertemukan aku dengan jurusan yang aku idamkan sejak awal aku masuk SMA. Kauwujudkan keinginanku. Sekarang, broadcasting ada di depan mata :) 
"Buat apa kamu kuliah di negeri kalau dengan jurusan yang ecek-ecek, jurusan yang enggak kamu minati dan hanya faktor keberuntungan karena pesaingnya sedikit? Kuliah untuk masa depan, sesuaikan bakat dan minat. Sekarang, ya inilah yang kamu inginkan, ini pilihanmu sejak awal. ILMU KOMUNIKASI."
Alhamdulilah, aku sadar. Allah kasih apa yang aku citakan.


Selamat untuk seluruh mahasiswa baru angkatan 2014.

Best regards, Cecelia.

Jumat, 08 Agustus 2014

Unknown Letter

Di saat terlemahku, kadang aku berpikir bahwa aku membutuhkan seseorang yang kurindukan. Seseorang yang bertahun menemaniku, memberi pengertian dengan seluruh keikhlasannya. Kurindukan? Iya, kurindukan. Merindu sesuatu yang mungkin pergi untuk beberapa saat namun entah kapan kembali.
Dulu, aku pernah merasakan hal ini dengan waktu yang tidak lama. Seperti halnya kau sedang pergi dengan urusan penting yang terpaksanya kau mengabaikan teleponmu untuk beberapa saat. Sekarang aku kembali merasakannya, hanya saja aku tidak tau urusan apa yg sedang kauhadapi dan kapan kamu kembali.
Menanti. Penantianku akan indah selama aku mengingat kenangan indah kita. Penantian itu indah karena tertanam benih kerinduan yg akan subur saat kau siram dengan tawamu. Tapi apa kamu tau bahwa penantian itu tak lepas dari suatu hal yg kapan saja bisa menyakiti?
Sekelebat firasat jahat itu datang. Menyentak bahwa aku tak boleh termenung menantikanmu lagi. Firasat jahat itu semacam memberiku keyakinan bahwa aku gadis yang kuat, kuat hidup tanpa penantian dan harapan yg bisa kandas kapan saja. Tidak jelas. Terkadang ada palu yang nyaris tetketuk dengan pernyataan bahwa aku tak peduli lagi, tak perlu memperdulikan.
Aku pernah lemah, menggiring namamu dengan tetesan air asin yang kukira akan menarikmu dalam rasa iba atas rindu yang mendera. Tapi saat rasa sakit menerpa, embusan napasku memberi isyarat kebencian. Tembok tempatku bersandar pun angkat bicara, aku benci kamu. Kamu harus pergi dari sini, dari hati dan pikiranku. Kamu-harus-pergi.  Kamu adalah tersangka atas tersitanya waktuku oleh lamunan dan keterpurukan. Kamu jahat. Dan kamu akan lebih jahat dari seorang penjahat terjahat apabila tak sedikitpun kamu melirikku yang masih menggenggam erat kenangan kita.
Oleh dinginnya angin malam yang kian dekat dengan pergantian hari, aku menitip salam untuk lelaki yang namanya kusebut tersirat dalam surat ini. Bahwasanya, aku ingin membenci atas dasar keberadaanmu yg tidak kuketahui, atas dasar kabar yang tak kunjung kuterima, dan atas dasar kisah kasih yang mungkin dengan sengaja kaucoba untuk menghapusnya.



Salam, gadismu yang tak ingin tergantikan.

Rabu, 16 Juli 2014

Cerpen: Kue Lezat Untuk Si Kembar


                Tepung beras yang sudah terkukus pulen dimasukkan ke dalam wadah, ditempatkan pada loker gerobaknya. Bocah ragil yang berusia sepuluh tahun itu senantiasa membantu persiapan yang dilakukan bapaknya di siang hari. Tangannya begitu lihai mengadukan pisau dengan benda berwarna cokelat yang telah tercetak dengan tempurung kelapa. Wadah plastik bekas sosis instan itu menjadi tempat bertautnya rajangan gula jawa yang lembut. Gula pasir, kelapa dan parutannya, telah ia letakkan di gerobak. Tak lupa ia mengelap daun pisang dan menumpuknya dengan kertas koran.
                Setelah memasukkan kompor ke dalam gerobak, Pak Udin menumpangkan panci yang berisi air untuk direbus selama perjalanan. Setelah berpamitan dan anaknya mencium tangan, perlahan ia kayuh sepeda tuanya, berangkat kerja mencari nafkah. Ia keliling mengitari perkampungannya dan lanjut berjalan menjajakan dagangannya.
***
                Belva menyampirkan handuk di tempatnya. Setelah mandi, ia berniat hendak menghias diri di depan meja rias kamarnya. Sebelum masuk kamar ia baru menyadari satu hal; rumahnya mendadak sepi. Tak terdengar satupun tanda keberadaan orang selain dia. Lantas ia berjalan celingukan mencari-cari anggota keluarganya yang lain. Ruang makan, ruang tengah, ruang tamu, dan bahkan setiap kamar telah ia pastikan bahwa penghuninya tidak diketahui keberadaanya.
                “Loh, kalian di sini? Orang-orang yang lain pada ke mana?” tanyanya setelah ia mendapati kedua adik kembarnya sedang bermain di taman samping rumah. “Mama, papa, Mbak Ayu, Mbak Yuni, ha?” Pertanyaan itu berjejal di pikirannya, ia keheranan.
                “Mama papa pergi, nggak tau ke mana. Tadi keliatan keburu-buru banget, nggak sempat tanya deh.” Jawab Bedu sambil mendangak ke arah Belva.
                “Mbak Yuni tadi pergi sama pacarnya. Mbak Ayu ngerjain tugas,” sambung Banu tanpa menatap lawan bicaranya. Ia terus asyik dengan mainan yang mungkin lebih menarik.
                Belva mengembus napas kesal sebelum  menggertakkan langkahnya masuk ke rumah, kemudian menghempaskan dirinya di kursi ruang tamu.
                “Huh! Kenapa orang-orang udah pergi gitu aja sih? Mana belum sempat minta uang ke mama pula!” rutuknya.
***
                “Mbak, kita lapar, tapi tudung saji nggak ada isinya.”
                “Mama papa kapan pulang?”
                “Mbak punya uang berapa?”
                “Aku pengen makan nasi padang.”
                Bocah kembar itu bersahutan di depan Belva yang sedang asyik tiduran di kamarnya. Namun keluhan itu tidak diindahkan, ia justru dibuat kesal oleh keluhan yang mendarat di telinganya. Ingin membentak tapi tak tega.
                Setengah jam lewat maghrib, orangtuanya belum juga memberikan kabar. Sedangkan kedua kakaknya yang lain belum bisa pulang saat itu. Gadis yang sedang duduk di bangku kelas dua SMP itu tak memiliki tabungan banyak. Maklum, kantong pelajar.
                Ia berusaha mengingat-ingat dan mencari di mana saja kemungkinan ia menaruh uang. Namun tak bisa, hanya ada selembar uang di dompetnya yang nestapa. Uang kertas bergambar wajah Imam Bondjol.
                “Mbak cuma punya uang segini. Nggak cukup buat beli nasi padang lauk ayam.” Ucapannya bagaikan kabar buruk bagi kedua bocah itu, mereka langsung tertunduk lesu.
                Di tengah sepinya suasana malam, samar-samar suara mirip peluit terdengar dari kejauhan.  Si kembar saling menatap, kemudian muncul pencerahan pada parasnya masing-masing.
                “Kita jajan itu aja! Lima ribu cukup buat bertiga!” ucap Banu semangat.
                Tanpa menunggu jawaban, Banu menyahut uang dari tangan kakak perempuannya itu. Mereka berlari gontai keluar rumah, sesegera mungkin untuk memanggil dan menghentikan penjual keliling yang sedang lewat mengayuh sepeda itu.
                “Berapa harga, Pak?”
                “Satunya lima ratus, Nak.”
                “Beli sepuluh, Pak!”
                Kedua bocah itu berkiprah menunggu pesanannya. Sambil berdiri di samping gerobak sepeda bapak itu, mereka mengamati setiap detail gerakan tangan penjual.
                Jajanan tradisional itu dibuat dengan cetakan dari bambu, bulat dan kecil. Panjangnya tak lebih dari sepuluh senti. Setengah dari cetakan itu diisii adonan yang terbuat dari kukusan tepung beras putih, kemudian diberi selingan gula jawa sebagai bumbu dan pemberi rasa manisnya. Lagi, dimasukkan lagi adonan tepung beras di atasnya. Dipadatkan. Pada akhirnya, warna cokelat gula jawa akan menjadi penengah dari kedua sisi putihnya warna tepung beras.
                Adonan yang sudah dicetak tadi, diletakkan di atas lubang uap. Sebagai daya tarik dan penggelitik perut selama pelanggannya menanti, penjual itu meletakkan daun pandan dalam air yang direbusnya. Sehingga menimbulkan aroma wangi yang sedap dihirup.
Melalui pendiaman beberapa menit, penjual itu segera mengangkatnya. Kue ini sudah jadi. Dorongan dari tongkat kecil akan membantu mengeluarkan kue dari cetakannya. Menatanya mudah, langsung dipapankan pada kulit pisang yang sudah tertata dan berlambar kertas koran. Lagi, ia melakukan hal ini pada kue-kue berikutnya. Begitu seterusnya. Sampai sepuluh kue sudah tersaji dan siap dibungkus.
                Namun sebelum penjual itu menyudahi semuanya, ia menaburkan kelapa di bagian atasnya, dan juga gula pasir. Sudah jadi. Karya bungkusan yang dibuat penjual itu tidak seperti bungkusan nasi warteg atau nasi padang yang diikat atau diklip pada sisi atasnya. Namun yang ditautkan adalah kedua sisi samping kanan dan kiri, dengan stapler.
                “Silakan, Nak..” ucap penjual dengan ramah sambil memberikan kue pesanannya.
                “Makasih, Pak.”
                Bedu menyahut bungkusan itu dan dengan semangat mereka membawanya masuk rumah. Menghampiri Belva yang sedari tadi duduk menantinya di teras.
                Di ruang tengah, mereka duduk sambil menonton televisi. Bedu tak sabar ingin menyantap jajanan tradisionalnya itu. Setelah dibuka, heummmm... aromanya sangat membius. Harum dan sedap. Apalagi kepulan uap kehangatan yang menari-nari lihai di atas makanan itu. Semakin memikat jemari untuk mengambilnya.
                Satu kue diraih Banu terlebih dahulu, mulutnya kepanasan memamah gigitan pertamanya. Ia mengibas-ngibaskan tangan di depan mulutnya yang terbuka. Lezat. Ia meniup-niup kuenya sebelum melakukan gigitannya yang kedua.
                Sepuluh kue putu untuk ketiga kakak beradik yang sedang lapar. Meski kenyangnya tak seberapa, tapi makanan tradisional yang rasanya gurih dan manis itu dapat membuat perut terasa nyaman anti keluhan.


- Jumlah kata : 882 kata
- Menggunakan tiga kata 'kemudian'
- Masing-masing satu kata 'lantas' dan 'terus'
- Tanpa menggunakan kata 'lalu' 

 
Sumber inspirasi dan hak milik gambar: http://awkulinerologi.wordpress.com




Tantangan menulis #DeskripsiBakso