Jumat, 14 Februari 2020

Ulang Tahun Kedua di Perantauan (2020)

          Tepat satu tahun aku bekerja di Ibukota. Menjalani hari-hari bersama kolega yang selalu bekerja dengan tak lupa bercanda. Aku nyaman di sini, di tempat ini, bersama mereka. Diluar konteks tekanan kerja, tim kami bekerja layaknya keluarga. Dengan jiwa-jiwa muda, kami memiliki selera humor yang sama. Milenial, begitu konsep pekerjaan di perusahaan kami. Berbeda dengan cerita ulang tahunku sebelumnya, kali ini aku merasa sangat dirangkul sekali. 
          Ucapan selamat, lantunan lagu, potong kue dan tiup lilin, menjadi cerita bahagia di hari Kamis, 16 Januari bulan lalu. Aku sangat-sangat bersyukur dengan tim ini. Sebagai yang termuda, aku menganggap mereka semua kakak-kakakku. Begitu pula dengan mereka memposisikanku sebagai yang terbontot.
          Lepas dari tim kerja, aku beralih kepada teman-teman sebaya yang pernah menjadi bagian dari rekan kerjaku. Lebih tepatnya, mereka yang tak bertahan lama disini. Kami masih menjalin hubungan baik meski sudah tak menjadi satu atap perusahaan. Bahkan kami menghabiskan waktu bersama untuk merayakan pergantian tahun baru 2020 di Bandung. Mereka teman sebayaku, mereka teman di perantauanku.
          Berbicara tentang mereka di perayaan ulangtahunku, tentu tak lepas dari peran salah satu orang terkasih yang sudah hampir satu tahun ini menjadi pelabuhan untuk hatiku. Dia yang pertama kali kukenal pada awal 2017 di kota asalku, dan baru menjalin komunikasi intens pada awal 2019 lalu. Dia yang sedang berada di pulau asalnya, menyempatkan waktu untuk mengunjungiku di Ibukota ini untuk menemaiku menyambut usia baru. Aku sama sekali tak menyangka bahwa dia bisa merencanakan ini semua. Dia memasuki ranah teman-temanku untuk menciptakan moment ulangtahunku. Lagi, potong kue dan tiup lilin di malam itu. Aku benar-benar tak menyangka, dia bisa menjadi satu dengan lingkup pertemananku yang belum pernah aku kenalkan dia sebelumnya.

Dearest, thank you for giving me such a unexpected precious moment on my day. 
Thank you for bring them out just to let me blow the candle of cake on your hand.
Thank you for being here, Thank you for being mine.

***


Jakarta, 2020

Jumat, 17 Januari 2020

Ulang Tahun Pertama di Perantauan (2019)

          Januari 2019 adalah awal adaptasiku dengan hidup baru; mengawali hari-hari sebagai seorang pekerja ibukota yang tinggal jauh dari keluarga. Aku tak punya siapa-siapa di sini, kecuali beberapa teman kuliah yang dibilang dekat pun nggak terlalu. Hingga pada saat tiba hari ulang tahunku yang ke-23, aku menyadari sesuatu; mungkin kali ini aku ditakdirkan untuk sendiri; mengapresiasi diri. 
         Aku merayakan dengan renungan. Dengan secarik kertas untuk menulis apa saja yang telah kudapat selama hidup. Lebih tepatnya tentang sebuah pendewasaan yang terlatih dari beberapa hal berat yang pernah kualami. Aku tak saja fokus dengan masalah, namun juga kureview seluruh anugerah dari Tuhan yang telah dititipkan kepadaku selama ini dengan tanpa kusadari.
      Disaat aku masih berada dalam proses pengenalanku terhadap lingkungan kerja, aku tak mendapat ucapan ulang tahun yang tulus disampaikan kecuali hanya sebatas formalitas. Baiklah, aku mengerti. Aku memang bukan siapa-siapa untuk mereka. Namun ada sebait masa lalu yang masih mengiringi penambahan umurku di kota asing ini. Rasanya keberuntungan masih sedikit memihakku sebagai anak rantau pemula.
           Dia yang sudah mengambil keputusan bulan lalu, dia yang memang kujalani dengan ragu. Akhirnya tidak ada lagi kita sejak saat itu; satu bulan sebelum ulang tahunku. Aku tidak menyesal karena aku sudah melepas dengan ikhlas. Fokus memulai hidup baru untuk bersiap bekal masa depanku, entah dengan siapa nanti. 
             Dia menghampiriku di kota ini. Sudah kuberi aba-aba bahwa tidak akan ada lagi kita setelah pertemuan kami berdua. Dia pun sepakat. Tetap menghampiri tanpa mengurungkan niat. Hambar. Semua terasa pias. Aku berjalan tanpa ada lagi perasaan. Lontaran canda dan tawa palsu menjadi teman sepanjang perjalanan itu. Aku memang sudah tidak akan bisa menjadi seseorang yang menyandingnya. Mungkin, memang lebih baik untuk sendiri. Terima kasih, atas kedatanganmu untuk menjadi satu-satunya orang yang merayakan penambahan umurku. Terima kasih untuk satu-satunya kue dan lilin yang kutiup tahun lalu.

***


Ditulis tepat satu tahun setelah kejadian,
Jakarta, 2020.