Rabu, 17 April 2013

TERSIRAT #2

Sambungan dari TERSIRAT #1
 

Komunikasi diantara kami terus berlanjut, meskipun tidak sesering yang dilakukan seperti pendekatan pasangan lain. Dia lebih sering membuatku bercerita tentang kehidupanku. Terlebih tiap-tiap kesulitan yang ku hadapi. Dan, dia selalu membutaku nyaman setelah aku menceritakan keluh kesah dalam hati yang lemah ini. Satu bulan kemudian, aku memberanikan diri untuk menggerakkan jemariku demi satu buah pertanyaan. Pertanyaan tentang dua kata yang ia bilang kala seminar.
“Aku tidak bohong, sampai detik ini pun aku masih merasakannya.”
“Apa kamu puas hanya dengan mengungkapan dua kata tersebut?”
“Ya. Aku tidak berani untuk mengungkapkan selebihnya dari itu. Karena aku sadar diri, aku tidak seperti romeo dalam cerita roman ataupun lelaki idaman dengan keromantisan yang dimilikinya.”
“Jadi kamu menyerah? Dan menghentikan jalanmu sampai disitu saja?”
“Apakah disebut menyerah jika aku akan selalu berada dibalik punggungmu dan aku dapat terlihat  jika kamu sudi menoleh ke belakang?”
“Maksudmu?”
“Aku memang tidak akan selalu tampak di depan, tapi kamu dapat merasakannya jika kamu mau.”
Masih saja ia keras kepala dengan kepolosannya. Dia tidak meminta lebih, tapi dia membiarkanku dengan segala keputusanku. Masa bodoh. Aku pikir itu hanya bullshit belaka seperti lelaki yang dirundung asmara pada umumnya. Seolah akan bertahan lama namun sekali lagi itu hanyalah tipuan bara cinta sesaat. Yang akan pudar seiring angin menghempas waktu. Namun aku merasa tertantang untuk membuktikan omongannya. Lelaki aneh setengah culun namun kata-katanya seolah meyakinkan seperti buaya darat diluar sana.
Aku seperti terperangkap, lambat laun aku terjerumus dalam keyakinannya yang katanya akan selalu berada dibelakangku. Benar. Aku dapat merasakannya. Dia membuatku tuli akan apa yang dibicarakan orang-orang tentang keanehannya. Sosok laki-laki yang katanya cinta, namun tiada bukti yang kasat mata. Aku tidak peduli, mereka tidak tahu seberapa besar rasa nyamanku terhadap Damar. Bahkan aku tidak percaya jika kami dapat berkonflik suatu saat nanti. Aku terlalu dimanjakan oleh pohon rindang yang senantiasa melindungiku dari angin dan panas mentari. Dalam tiap lelah dan letihku,  ia tak pernah bosan untuk menyandarkanku pada tubuhnya. Selalu berhasil memberikan rasa nyaman, puas dan membuatku merasa terjaga.
Bulan Februari lalu, ketika orang-orang sibuk menantikan dan atau mempersiapkan kejutan di hari valentine, aku hanya dapat terdiam menyimak kericuhan baik dalam pembicaraan teman ataupun timeline twitter. Haruskah ini terjadi? Haruskah mereka memperingatinya? Toh belum tentu mereka tau apa itu valentine beserta sejarah kisah kronologisnya. Namun di balik itu, aku berkonflik dengan diriku sendiri. Ya, tentang Damar tentunya. Namun dia mengajakku ketemuan pada sebuah tempat makan, entah apa yang ia rencanakan. Sebuah kejutan hari valentine, atau pertemuan biasa yang tak lebih dari bertatap muka dan obrolan sebagai formalitas.
“Gimana perayaan hari kasih sayang temen-temen kamu?” Ia mulai menyinggungnya.
“Ribet.” jawabku singkat sembari mengadu pisau garpu pada steak yang ku pesan.
“Apa kamu juga ingin seperti teman-teman kamu itu? Kejutan dari pacar, bunga mawar, kecup dan pelukan, dan kemesraan serta bukti cinta lainnya?”
“Mengapa demikian? Belum sadarkah kalau kamu sudah membutakanku?”
“Maksud kamu?” Ia mengerutkan dahinya dan tampak tidak mengerti.
“Kamu tidak seperti lelaki diluar sana, kamu berbeda. Kamu selalu dibelakangku, bukan? Tidak perlu mengelak. Tanpa kamu mengungkapkannya, tanpa simbol-simbol dan bukti formalitas pasangan yang sedang dirundung asmara. Kamu telah mewujudkannya dengan caramu sendiri, yang tentunya tidak dapat dilihat orang diluar sana selain aku. Hanya aku yang merasakannya, bukankah itu benar?”
“Ya, aku senantiasa menyimpan cinta dibelakangmu. Maafkan aku belum dapat membuktikannya didepan teman-temanmu.”
“Mereka tidak perlu menyimak cerita cinta kita. Bukankah itu sudah cukup jika kita saling memiliki dan merasakan nyaman bersama satu sama lain?”

TERSIRAT #1


            Hujan tak kunjung reda. Angin berhembus mendesah melalui celah jendela kamarku yang terletak persis di tepi gang kampung yang permai ini. Jalanan selalu sepi tiap malamnya, dan suasana itu lah yang seringkali menghantarkan aku pada lamunan seperti saat ini. Menghipnotisku, dan merasuk pada ruang pikir yang paling dalam. Duduk bersantai di sofa merah kesayangan, dan sesekali aku menjamah bangku belajar hanya untuk memamerkan muka pada angin di luar jendela. Masih dengan alasan yang sama, lelaki itu tentunya.
            Namanya Damar, sosok turunan Adam yang tak kunjung bosan membuatku untuk memikirkannya. Entah menggunakan ilmu apa, dia selalu menyita perhatianku dan mengaguminya sampai saat ini. Ya, meski pula sering ku dengar celotehan buruk teman-temanku tentang pandangannya terhadap Damar.  Yang mereka bilang cupu, pongoh, nggak romantis, dan mereka selalu menganggap Damar itu aneh. Namun keanehan itulah yang menjadikan teka-teki sebagaimana tema lamunanku sepanjang hari. Suatu topik permasalahan yang tak kunjung terpecahkan. Cinta membutakanku.
“Doorrr!! Galau cyiiinnn? Belum bosen mikirin si pongoh itu? Hati-hati lho, ketularan aneh baru tau rasa. ‘Seorang Prita yang terkenal eksis di sekolah sudah terpengaruh spesies langka’ Ha..ha.. bakal jadi berita di majalah sekolah. Udah siap mental, bos?”
“What the hell !!! Bisa nggak sih sopanan dikit? Main nylonong aja, masuk kamar orang tuh ketuk pintu dulu. Iya kebetulan gue ngelamun, kalo lagi ganti baju gimana? Birahi baru tau rasa lo!”
“Idiiiihhhh najis, kepedean! Tanya tu sama Damar, dia nafsu nggak ama lo? Eh..boro boro nafsu, pegang tangan dan pelukan aja mungkin dia baca mantra dulu. Ha..ha.”
“Berisik!! Mau keluar sekarang atau gue siram air teh ini mumpung masih panas??”
Emosiku telah memuncak. Bantal dan guling yang aku lemparkan ternyata tidak bermanfaat untuk segera mengusir kakak laki-laki yang sangat menyebalkan itu, kemudian ku hadapkan segelas teh tepat satu kepal di hadapan mukanya.  Niatnya memang baik, mengantarkanku segelas teh hangat titipan mama. Namun sifatnya yang usil dan cerewetnya sering ia gunakan untuk menghina, membuat aku tidak pernah menghargainya sebagai seorang kakak. Selisih usia kami hanya tiga tahun, bagai teman sepermainan yang tidak memiliki kedewasaan lebih pada salah satunya.
Aku kembali memposisikan diri di sofa merah ini, namun rasanya telah berbeda. Aku seperti kehilangan bayang-bayang Damar sesaat sebelum kak Petra menghancurkannya. Namun, aku jadi kepikiran kata-katanya.. ‘pegang tangan dan pelukan aja dia baca mantra dulu.’ Darimana kak Petra tahu kalau aku dan Damar jarang..em maksudku tidak pernah. Ya, kami tidak pernah bermesraan layaknya dua sejoli yang dibakar cinta membara. Aku pun tidak tahu, kenapa tanpa kemesraan aku tetap merasakan kasih sayang dari Damar? Nah..itu yang aneh! Apakah ini cinta telepati?
Dia menyatakan cintanya lain dari lain. Tidak seperti mantan-mantanku sebelumnya dan tidak pula seperti kisah roman lainnya. Kami hanya duduk berdampingan dalam acara seminar satu setengah tahun yang lalu. Karena kepentingan yang sama, mau tidak mau kami harus berhubungan dan menjalin komunikasi sesering mungkin. Hingga tiba saatnya acara yang kami laksanakan, dia memulainya. Dia bukan Romeo yang bersimpuh di kaki Juliet. Dia bukan pemberi kejutan dengan balon dan pemeriah lainnya. Dia juga bukan mantanku yang menyembunyikan mawar merah di balik punggungnya. Tapi dia Damar, humas seminar dan aku seksi acara.
Perbincangan kami kala itu tidak keluar dari kebutuhan acara seminar. Namun dia mengambil celah dan menyatakan pernyataan aneh. Dia tertarik, dan menyukaiku. Ya, sekedar dua kata penuh makna. Bukan kata cinta maupun memintaku jadi kekasihnya. Aku melihat keseriusan di tengah kepolosan wajahnya kala itu. Benar-benar membiusku dari kata-kata. Bagaikan petir menyambar ditengah panasnya suasana. Angin berdesis menggugurkan dedaunan dan menyapunya sampai ke tengah jalan. Dan aku berdiri sendiri tidak tahu apa yang harus aku perbuat, atau sekedar berlari melindungi diri dari serangan tak terduga.
Namun tiba-tiba seseorang menepuk bahuku dari belakang. Dengan wajah gagu aku menolehnya. Dia memberitahukan bahwa aku dipanggil Pak Soma sebagai penanggung jawab acara semnar itu. Yang kemudian memaksaku harus beranjak dari kursi tempatku terpaku. Aku meninggalkan Damar tanpa satu kata respon maupun kata pamitan. Bingungnya, kenapa harus ada acara melongo seperti tadi? Bukankah aku tidak ada feeling buat lelaki kalem itu? Kenapa tidak saja langsung ku abaikan? Dan saat-saat itu masih kuingat jelas dalam bayang-bayang tiap malamku.

bersambung TERSIRAT #2