Sambungan dari TERSIRAT #1
Komunikasi
diantara kami terus berlanjut, meskipun tidak sesering yang dilakukan seperti
pendekatan pasangan lain. Dia lebih sering membuatku bercerita tentang
kehidupanku. Terlebih tiap-tiap kesulitan yang ku hadapi. Dan, dia selalu
membutaku nyaman setelah aku menceritakan keluh kesah dalam hati yang lemah
ini. Satu bulan kemudian, aku memberanikan diri untuk menggerakkan jemariku
demi satu buah pertanyaan. Pertanyaan tentang dua kata yang ia bilang kala
seminar.
“Aku
tidak bohong, sampai detik ini pun aku masih merasakannya.”
“Apa
kamu puas hanya dengan mengungkapan dua kata tersebut?”
“Ya.
Aku tidak berani untuk mengungkapkan selebihnya dari itu. Karena aku sadar
diri, aku tidak seperti romeo dalam cerita roman ataupun lelaki idaman dengan
keromantisan yang dimilikinya.”
“Jadi
kamu menyerah? Dan menghentikan jalanmu sampai disitu saja?”
“Apakah
disebut menyerah jika aku akan selalu berada dibalik punggungmu dan aku dapat
terlihat jika kamu sudi menoleh ke
belakang?”
“Maksudmu?”
“Aku
memang tidak akan selalu tampak di depan, tapi kamu dapat merasakannya jika
kamu mau.”
Masih
saja ia keras kepala dengan kepolosannya. Dia tidak meminta lebih, tapi dia
membiarkanku dengan segala keputusanku. Masa bodoh. Aku pikir itu hanya
bullshit belaka seperti lelaki yang dirundung asmara pada umumnya. Seolah akan
bertahan lama namun sekali lagi itu hanyalah tipuan bara cinta sesaat. Yang
akan pudar seiring angin menghempas waktu. Namun aku merasa tertantang untuk
membuktikan omongannya. Lelaki aneh setengah culun namun kata-katanya seolah
meyakinkan seperti buaya darat diluar sana.
Aku
seperti terperangkap, lambat laun aku terjerumus dalam keyakinannya yang
katanya akan selalu berada dibelakangku. Benar. Aku dapat merasakannya. Dia
membuatku tuli akan apa yang dibicarakan orang-orang tentang keanehannya. Sosok
laki-laki yang katanya cinta, namun tiada bukti yang kasat mata. Aku tidak
peduli, mereka tidak tahu seberapa besar rasa nyamanku terhadap Damar. Bahkan
aku tidak percaya jika kami dapat berkonflik suatu saat nanti. Aku terlalu
dimanjakan oleh pohon rindang yang senantiasa melindungiku dari angin dan panas
mentari. Dalam tiap lelah dan letihku,
ia tak pernah bosan untuk menyandarkanku pada tubuhnya. Selalu berhasil
memberikan rasa nyaman, puas dan membuatku merasa terjaga.
Bulan
Februari lalu, ketika orang-orang sibuk menantikan dan atau mempersiapkan
kejutan di hari valentine, aku hanya
dapat terdiam menyimak kericuhan baik dalam pembicaraan teman ataupun timeline twitter. Haruskah ini terjadi?
Haruskah mereka memperingatinya? Toh belum tentu mereka tau apa itu valentine beserta sejarah kisah
kronologisnya. Namun di balik itu, aku berkonflik dengan diriku sendiri. Ya,
tentang Damar tentunya. Namun dia mengajakku ketemuan pada sebuah tempat makan,
entah apa yang ia rencanakan. Sebuah kejutan hari valentine, atau pertemuan biasa yang tak lebih dari bertatap muka
dan obrolan sebagai formalitas.
“Gimana
perayaan hari kasih sayang temen-temen kamu?” Ia mulai menyinggungnya.
“Ribet.”
jawabku singkat sembari mengadu pisau garpu pada steak yang ku pesan.
“Apa
kamu juga ingin seperti teman-teman kamu itu? Kejutan dari pacar, bunga mawar,
kecup dan pelukan, dan kemesraan serta bukti cinta lainnya?”
“Mengapa
demikian? Belum sadarkah kalau kamu sudah membutakanku?”
“Maksud
kamu?” Ia mengerutkan dahinya dan tampak tidak mengerti.
“Kamu
tidak seperti lelaki diluar sana, kamu berbeda. Kamu selalu dibelakangku,
bukan? Tidak perlu mengelak. Tanpa kamu mengungkapkannya, tanpa simbol-simbol
dan bukti formalitas pasangan yang sedang dirundung asmara. Kamu telah
mewujudkannya dengan caramu sendiri, yang tentunya tidak dapat dilihat orang
diluar sana selain aku. Hanya aku yang merasakannya, bukankah itu benar?”
“Ya,
aku senantiasa menyimpan cinta dibelakangmu. Maafkan aku belum dapat membuktikannya
didepan teman-temanmu.”
“Mereka
tidak perlu menyimak cerita cinta kita. Bukankah itu sudah cukup jika kita
saling memiliki dan merasakan nyaman bersama satu sama lain?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Sederhana, tidak sempurna, kesalahan pasti ada. Bagaimana menurutmu?