Minggu, 21 Juli 2013

Broken Home; Tidak Selalu Akibat Perceraian

Oleh: Cecelia Dwi W
Narasumber; Galuh Setia Winahyu, M.Psi.,Psi.
Supervisor & People Development di Graha Karir ECC UGM
Dosen STIPSI Yogyakarta

                Pandangan ‘anak broken home’ menurut banyak orang adalah anak yang menjadi korban cerai orangtuanya, yang tidak lagi tinggal dengan orangtua yang utuh. Namun pernyataan tersebut salah. Broken home tidak selalu terjadi akibat perceraian, namun fungsi keluarga yang tidak lagi berperan dengan baik.
                Ada orangtua yang mempertahankan keluarganya, tidak cerai hanya karena menjaga perasaan anaknya. Namun tetap bisa menjadi broken home apabila anggota keluarga tersebut sudah tidak menjalankan perannya dengan baik. Faktor utamanya adalah tidak adanya komunikasi yang bagus antara anggota keluarga.
                Perceraian orangtua tidak selalu berdampak pada anak yang menjadi nakal. Semua itu tergantung pada pola asuhnya sejak dini, serta lingkungan yang nyaman. Karena dua hal tersebut dapat menjadikan anak terbuka pada kedua orangtuanya. Jika tidak, anak tidak berani menyampaikan maksud dan amarahnya kepada orangtua ‘jangan cerai,’ sehingga ia mencari pelarian untuk mendapat perhatian.
                Untuk menghilangkan rasa luka bagi anak korban perceraian, usahakan dengan kegiatan positif supaya dapat mengalihkan perhatian dari sesuatu suram yang ada di rumah. Dalam dirinya pasti ada kekecewaan, tapi kedua orangtua yang masih komunikasi dengan baik akan dapat meminimalisir perasaan anak tersebut.
Jika kita memiliki teman yang sedemikian, support-lah agar tetap semangat, jadilah teman curhatnya agar ia tak memiliki banyak beban. Anak itu pasti susah mengungkapkan permasalahannya, namun jika sudah dipancing pasti akan mengalir dengan sendirinya dan akan membuatnya lega.
Jika ia terpuruk terlalu dalam harus ada penanganan intensif, guru BP di sekolah atau konsultasi ke psikologi.
Galuh Setia Winahyu, M.Psi.,Psi

Sabtu, 20 Juli 2013

Bersahabat Dengan Mantan - Koki Kaca Angkatan 19 Edisi 5

Pacaran adalah salah satu dari banyak hal yang identik dengan dunia remaja. Begitu juga efek sampingnya yaitu putus. Kebanyakan memilih untuk menjaga jarak dan seolah ‘memusuhi’ mantan.
Jauh berbeda dengan Satya (bukan nama sebenarnya), dia pernah berpacaran dengan teman SMP nya. Sempat dipertahankan, namun akhirnya dia menerima permintaan putus dari mantannya. “Kalau kita jodoh pasti kita bakalan ketemu lagi.” kalimat perpisahan yang masih diingat karena sampai sekarang (kelas XI) mereka satu sekolah, bahkan satu kelas!
Dia mengaku, meskipun saat ini memiliki pacar baru yang juga satu sekolah, namun hubungannya dengan mantannya masih baik-baik saja. Selain bercanda di kelas, pinjam catatan dan belajar bareng, bahkan mereka pernah memerankan tokoh drama yang menyatakan cinta. “itu ditunjuk sama guruku. Waktu latihan ya ngakak terus, pegangan tangannya bikin KSBB. Sama temen ya digodain, di cie-cie gitu” jelasnya.

Ada juga teman kita yang tidak mau disebut namanya, dari SMK Negeri 2 Kasihan Bantul (SMSR) yang masih menjaga hubungan baik dengan mantannya. Menurutnya, kalau jadiannya baik-baik, putusnya harus sama baiknya. “Rasa kecewa sih ada. Tapi buat apa? Lagian dia mutusin aku dengan alasan yang baik, dan dia nggak memusuhi aku. Jadi, aku malah bisa sahabatan dengan dia.”
Dia juga mengaku bahwa persahabatannya dengan sang mantan tentu ada suka dukanya. “Seneng sih dia masih mau komunikasi sama aku, jadi hubungan baik nggak terputus. Nggak enaknya kalau mau main bareng gitu dia takut kalau pacarnya salah paham.”

Serupa tapi tak sama. Salah satu pelajar SMA Negeri 8 Yogyakarta mengaku putus karena perbedaan agama. “Dia orangnya asyik, enak diajak curhat, dan lebih dewasa dari aku. Sehingga aku bisa minta solusi dari dia. Kita putus juga baik-baik, dengan alasan yang jelas. Jadi ya masih tetep temenan.” Hal tersebut yang membuat ia merasa nyaman bersahabat dengan mantan. “Awalnya memang susah, terutama pas barusan putus. Tapi, buat apa sih nyimpen dendam malah bikin musuh. Mending cari temen yang banyak.” Anggapan tersebut dibenarkan oleh Satya. Mereka mengungkapkan sisi nggak enaknya adalah masih sering teringat kenangannya ketika pacaran, bahasa gaulnya mungkin sudah sering kita dengar sebagai ‘KSBB’.

Deya Silvia Dewi, siswi SMA Negeri 11 Yogyakarta telah berpacaran empat tahun dan alasan putusnya tidak sesuai dengan kenyataan. “Dia bilang pengen sendiri dulu, tapi dia juga minta habis putus tetep temenan” jelasnya. Alasannya diterima, namun disisi lain Deya mendapat informasi dari teman yang mengetahui kejujuran mantannya bahwa alasan minta putus karena Deya dianggap lebay dan rewel karna sering nelfon jika smsnya tidak dibalas. Selain itu Deya mengetahui bahwa ada’inceran’ cewek lain, “mention nya di twitter tuh akrab banget, terus juga di pacokin sama temen-temennya.”

Beberapa lama kemudian, sang mantan minta dianggap pacar oleh Deya, “gak mau ada kata balikan karena nanti ada kata putus” alasannya. Deya merasa masih pantas mempertahankan hubungan karena sudah dekat dengan keluarganya. “Eman kalau cari yang lain dan harus adaptasi lagi. Dulu pernah deket sama kakak kelas tapi enggak cocok” tambahnya. Dalam kedekatannya saat ini Deya lebih sering memanggil mantannya dengan panggilan ‘mas’ karena faktor usia yang satu tahun lebih tua darinya. Deya juga mengaku lebih nyaman sekarang meskipun menurutnya itu hubungan tanpa status, ”karena aku seneng bisa deket meskipun enggak pacaran.”

 oleh: Cecelia Dwi (SMA 10 Yk) dan Erwita Danu (SMA 7 Yk)
sebagai laporan utama rubrik remaja KR edisi 5