Minggu, 29 Juni 2014

Saksi Bisu Perjuangan

Masa-masa itu telah berlalu. Meninggalkan sebaris memori yang tak bisa pudar tentang sebuah perjuangan. Sejak awal aku memang tahu, kebutuhanmu akan diriku tak akan lama. April puncaknya. Dan kini, aku hanya sebagian kecil dari secuil memori yang tergilas oleh mesin waktu.
***
Tak banyak pelajar yang sudi berteman denganku atas kesadaran mereka pribadi. Hanya orang-orang tertentu saja yang mengacuhkan aku dengan segala konsentrasinya untuk menghabisi anak buahku yang terpampang dengan sempurna. Sebagiannya lagi, hanya menganggapku bagai rontokan sehelai rambut yang tak berarti.
Kali ini aku akan menceritakan teman-temanku di sekolah. Sekolah Menengah Atas. Bapak ibu guru senantiasa mempercayai aku menjadi wadah pengetahuan yang hendak mereka berikan pada muridnya. Terlebih untuk mengasah kemampuan atas pelajaran yang telah diberikan. Ini amanah paling mulia yang sering aku dapatkan di sekolah.
Aku tak banyak berteman dengan murid-murid kelas satu. Mereka tak beda dengan anak ingusan yang hanya bisa bersenang-senang tanpa menyadari kewajibannya di sekolah. Enam hari dalam seminggu, mereka jalani tanpa target dan tujuan yang jelas.
Kewajiban dan rutinitas, terkadang memang sulit untuk dibedakan.
Risau hatiku, setelah tersodor di hadapan mereka yang tampak gerogi untuk menyentuhku. Gelagatnya sudah terbaca. Tak banyak yang bisa mereka lakukan selain menulis nama dan nomor absennya. Setelah itu, mereka menganggur tak tau harus berbuat apa. Seandainya mereka tahu, betapa sakit hatiku harus termangu menjadi alas tidurnya. Mereka tak menghargai amanah yang sudah kusampaikan di depan matanya.
Tanpa kedewasaan mereka tak akan memiliki kesadaran.
Saat waktu yang diberikan hampir habis, mereka baru kebingungan. Menghalalkan segala cara untuk menjawab soal yang terbubuh pada tubuhku. Miris.
***
Perlahan aku berdamai dengan murid-murid kelas dua. Setelah penjurusan mereka lebih bisa belajar intensif, itulah mengapa mereka tak lagi secuek saat mereka kelas satu. Sudah lebih dewasa, mungkin. Aku mendengar dua gadis berbisik mencurahkan keluh kesah. Sepertinya, mereka bersahabat. Mereka teman sebangku.
Aku menyimak salah satu dari mereka menyandarkan kepala di bahu lawan bicaranya. Aku tak mendengar banyak obrolan mereka. Tapi kulihat dari ekspresinya, sepertinya mereka sedang tak bahagia; membicarakan masalah yang cukup serius, mungkin.
Tak lama kemudian, gadis pemilik bahu itu menegakkan badannya. Membuat lawan bicaranya juga harus mengangkat kepalanya dan membenarkan duduknya. Mereka beringsut mendekatiku yang sedang tergeletak cantik di meja. Nah, suaranya semakin jelas untuk kudengar.
“Semangat dong! Kita udah semester dua, bentar lagi kita kelas tiga. Beberapa bulan setelah itu kita banyak pendalaman materi. Inget, waktu gak panjang lho buat mematangkan persiapan ujian nasional.”
Aku menghela napas. Lega. Rupanya gadis itu memiliki kesadaran akan tanggung jawabnya sebagai pelajar. Sepertinya ia memiliki alur yang jelas untuk menyelesaikan studinya. Bagus. Orang-orang seperti itu tak akan pernah mengabaikanku. Dan orang seperti itulah sahabatku, yang mampu membuatku tersenyum untuk merasakan bagaimana senangnya dihargai.
Aku merasa berharga, karena aku bermanfaat.
***
Selamat datang, tahun ajaran baru! Akan banyak murid yang-mau nggak mau-harus bersahabat denganku.
Tapi, tidak untuk mereka yang dulu mengabaikanku, bahkan menjadikan aku alas tidurnya di kelas. Pasti saat kelas tiga ini mereka terpontang-panting mengejar materi. Salah siapa, dulu harusnya bisa menghargai aku dengan sebaik mungkin. Tapi, mereka tak menganggap aku ada. Tak berharga.
Gadis itu, membabat habis butir-butir soal berparas indah mempesona yang aku suguhkan. Ia menghargai setiap detil nomer yang ia kerjakan. Setelah bisa, ia lanjut ke nomor berikutnya. Saat tak bisa, ia menentengku berpindah tempat mendekati orang lain yang sekiranya dapat memberinya penjelasan, sampai ia memiliki keyakinan untuk menyingkirkanku dengan embusan napas puas.
Lima bulan menuju bulan April. Aku beredar lebih banyak dengan variasi yang beragam, demi membantu murid-murid kelas tiga mempersiapkan ujian akhir nasional yang kian menghadang. Saat aku jatuh di tangan orang yang salah, aku akan tercerai-berai. Seolah mereka telah muak dengan tampangku yang membosankan. Tak apa. Tak terawat. Aku sudah biasa.
Tapi bersama gadis itu, aku merasa harga diriku tinggi. Dia menyimpan tiap kopian yang ia dapat. Mengusap-usapku lembut sebelum ia masukkan ke dalam map plastik bergambar bunga mawar. Ia selalu memastikan bahwa aku tak terlipat. Rapi.
Aku sempat mendengar keluhannya bahwa ia sudah lelah. Lelah berjuang. Lelah terlalu sering berkutat denganku. Dalam hati aku sedih. Tapi aku adalah saksi bisu terhadap perjuangannya. Aku tau betul semangatnya, keseriusannya, dan segalanya yang ia persiapkan matang-matang demi meraih tujuan akhirnya.
Aku bangga terhadapnya.
Nyawaku ada bersama orang-orang yang mau berjuang.
***
Juni 2014.
Sudah dua bulan lamanya aku diistirahatkan bersama tumpukan-tumpukan buku di sudut kamarnya, gadis itu.
Pagi itu cerah, kutatap ia yang sedang sibuk menata ruangannya. Aku sumringah. Sepertinya aku bakalan kembali tersentuh, pikirku.
Tak dapat kupisahkan rasa senang dan sedihku. Ia menatapku dalam-dalam, bola matanya yang hitam seakan larut ke dalam masa sebelum April menghadang; perjuangan. Aku senang ia begitu mengingatku penuh arti. Tapi belaiannya yang lembut, mengisyaratkan perpisahan. Sepertinya ia akan memindahkanku untuk tak lagi berada di kamarnya.
Waktuku telah usai. Manfaatku tak lagi ada.
Aku pernah bersinar kala itu. Namun kini, setelah perjuangan dan tujuannya kelar, aku tak lagi berhak memintanya untuk menghargaiku. Sekarang waktuku untuk tersenyum dalam kedamaian di dalam gudang.
Tuhan, hargailah perjuangannya. Berikan hasil yang terbaik atas usahanya.

Tantangan menulis #NarasiSemesta