Sabtu, 14 Desember 2013

Cerpen: Tembakan di Kora-kora


Semburat senja menjadi hadiah terindah langit sore itu. Jingga semu merah. Kami masih duduk berdampingan, mengayunkan kaki bergelantungan. Sudah hampir tiga jam sebelum maghrib kami berada di sini, di Bukit Bintang. Tepatnya di tanjakan jalan Jogja-Wonosari di mana tempat ini adalah tempat yang diperebutkan kawula muda untuk mengukir cerita berhias tawa. Ditemani pedagang kopi keliling dan penjual jagung bakar yang selalu menawarkannya pada pengunjung. Jajanan itu adalah hiburan kedua setelah pemandangan yang terhampar luas sejauh mata memandang, di bawah bukit ini.

            Mendengar adzan, dia mengajakku bergegas meninggalkan tempat itu. Bukan karena terburu-buru, tapi karena panggilan sholat yang dikerjakan lebih cepat lebih baik. Motornya dikemudikan menuruni tanjakan menuju perkotaan. Mencari masjid terdekat. Seusai sholat kami tak lekas pulang, dia mengajakku makan di warung makan padang yang tak terhitung mahal. Terjangkau. Hatiku dihinggapi penuh rasa canggung, duduk berhadapan dengan lelaki yang kugandrungi. Hidangan yang kumakan bahkan tak terasa nikmatnya dibanding saat aku menyusuri tiap senti lekuk wajahnya. Tampan. Kutemukan sesungging senyum bersemayam di bibirnya yang tipis. Manis.

***

           “Kenapa kamu, kok ngliatin aku khusyuk amat?”
Gawat! Dia mendapati aku yang sedang melongo menatapnya.
“Aku ganteng ya?” Pedenya kelewat batas.
Saat itu juga aku tersedak oleh nasi putih yang terkunyah bersama suwiran ayam rendang. “Hah? Ee..ee..enggak! Siapa juga yang ngliatin kamu, pede!” Sanggahku dengan nada yang tak beraturan.
Hubungan kami memang tak lebih dari teman, bahkan ia terlalu menyebalkan untuk dijadikan teman. Cuek, berkepala dingin. Tapi kenapa lelaki itu akhir-akhir ini menjadi pusat rotasi hatiku? Sesibuk apapun kumencari jawaban, tak kunjung kutemukan.
            “Udah nggak usah ngeles,” tukasnya sembari memasukkan makanan ke mulutnya. “Eh habis ini ke sekaten yuk?” tambahnya.
Kali ini wajahnya tampak serius. Tapi tetap saja mengherankan, ini pertama kalinya dia sudi untuk akur denganku. Biasanya, uring-uringan­.
            “Hah? Ngapain ke sana? Kayak kurang kerjaan aja.”
            “Temenin dong, aku belum pernah ke pasar malem kayak gituan. Banyak mainannya kan?”
            “Ya terus? Mau naik bianglala?”
            “Nggak. Mau mbuang kamu ke tong setan.”  Kemudian ia tertawa jahat.
Seketika ketampanan yang baru saja kunikmati telah hilang. Ia kembali menyebalkan. Tapi ia terus memaksaku dengan tatapan melas yang sulit ditolak. Akhirnya aku menyetujui ajakannya.
***

Sesampainya di Alun-alun, aku kembali menanyakan apa tujuan ia kemari. Tapi tak ada jawaban. Dengan langkahnya yang angkuh ia terus menapaki seluruh lorong-lorong jalanan di antara lapak-lapak yang ada. Aku mengikutinya di belakang.
“Hey! Harus berapa lama lagi kita jalan tanpa tujuan?” keluhku dengan bibir manyun andalan.
 Tapi ia tak menoleh. Aku tak digubris. Padahal aku sudah sedikit berteriak karena suara orang-orang yang berlalu lalang cukup berisik. Ditambah lagi dengan suara-suara berbagai jenis wahana permainan yang menghebohkan. Gegar membahana. Ada komidi putar, jinontrol, bianglala, bom-bom car, dan yang paling riuh adalah suara dari rumah hantu yang berada tak jauh di sebelah kanan kami.
“Reyhan!” teriakku memanggil namanya. Kali ini sungguh aku merasa lelah untuk melangkah. Masih saja ia tak mendengar. “Reyhan!” Lagi, kupanggil namanya.
“Kenapa sih?” akhirnya ia menoleh.  
Aku berhenti sejenak. Sedikit membungkuk untuk mengelus lututku yang terasa pegal.
“Kamu capek?”
Aku diam tak menjawab. Kuputar-putar kepalaku mencari tempat yang bisa untuk mengistirahatkan pantat dan kakiku. Tak jauh dari tempatku berdiri, ada awul-awul yang dipadati pembeli sehingga penjualnya sibuk melayani. Kursinya menganggur. Aku menghampiri kursi tersebut yang sepertinya akan nyaman untukku sementara. Reyhan mulai mengerti.
“Yaudah kamu tunggu sini bentar ya, jangan ke mana-mana.”
“Hey kamu mau ke mana? Jangan ninggal aku sendiri dong!” Lagi-lagi aku dibuatnya kesal.
 Ia langsung saja melangkah meninggalkanku. Saking capeknya aku memutuskan untuk tidak mengejarnya. Beberapa menit kemudian, dia datang.
“Nih, satu buat kamu, satu buat aku.”
Kulihat dia datang membawa senyuman, dengan dua arumanis yang satunya diberikan padaku. Dengan diam aku menerimanya. Sambil makan, ia berdiri di sampingku. Diam. Tak ada obrolan.
...
“Jalan lagi yuk?” ajaknya kemudian.
Aku menatap matanya yang redup. Moodku sudah kembali.
“Kamu ngambek ya Cit? Kok diem aja?” kepalanya sedikit menunduk untuk menatap wajahku.
“Udah deh nggak usah sok perhatian. Pulang yuk?” tukasku.
“Aku belum mau pulang.”
“Tapi aku capek.”
“Yaudah kamu mau mainan apa deh biar nggak capek? Aku traktir.”
“Heh di mana-mana kalo capek ya istirahat, pulang. Bukan mainan!” bantahku sewot.
“Ya tapi ini belum kelar.”
“Apanya? Perasaan dari tadi juga nggak ngapa-ngapain.”
“Aku tuh dari tadi mikir.”
Ucapannya semakin susah untuk dicerna otakku. Tapi saat itu juga aku menyimak usahanya untuk menghilangkan rasa jenuh dan lelahku. Obrolan kami semakin hangat. Dia membelikan aku satu cup es teh yang dijual dengan mobil terbuka dekat food court di pasar malam itu. Kembali kami menyusuri tanah Alun-alun tanpa tujuan. Sampai akhirnya ia mengajakku naik komidi putar. Tapi kutolak. Masih ingat jelas tahun lalu setelah aku naik komidi putar mendadak pusing dan mual. Sampai di rumah aku muntah-muntah dan keesokan harinya aku tidak berangkat sekolah.
“Oh jadi ada trauma?” pertanyaan yang sekiranya tak perlu dijawab.
“Bianglala aja yuk?” ajakku.
“Nggak ah. Nanti kalo mendadak kita berhenti pas di atas sendiri gimana? Horor ah.”
“What?! Jadi, kamu takut ketinggian? hahaha”
“Eh, eh, bukan gitu, maksudku....emm, gimana kalo kita naik kora-kora aja?”
Aku menengok sekitar. Ternyata yang dimaksud adalah wahana yang tampak seperti ayunan besar berbentuk kapal, berisi banyak orang. Aku diam. Berpikir sejenak. Meragukan ajakannya sebelum akhirnya aku menolak karena menyimak orang-orang itu seperti teriak histeris ketakutan.
“Ya ampun terus kamu maunya naik apa, Cit? Kenapa sih, takut ya sama kora-kora?”
Aku diam.      
“Itu jalan tengah buat kita, yang nggak bikin kamu pusing, dan yang nggak nyinggung phobia-ku.” Dia menjelaskan. “Udah deh, nggak papa, nggak usah takut ya, ada aku kok. Lagian orang-orang itu teriak sambil ketawa, bukan ketakutan.” Ucapnya meyakinkanku.
Tiba-tiba ia menyeret tanganku menuju loket pembelian karcis. Kuturuti keputusannya. 
Aku menaiki kora-kora itu dengan langkah yang ragu. Tapi Reyhan, yang tepat berada di depanku melangkah dengan mantap. Gandengan tangannya tak kunjung lepas. Pukulan gendang di jantungku semakin dapat kurasakan. Akhirnya ayunan ringan meluncur, diciptakan oleh pegawai kora-kora yang berdiri di sudut belakang. Ia mengayunkan kapal tiruan ini sekuat tenaga. Terus. Diulang-ulang. Berulang-kali.

Ya ampun. Kurasakan peredaran darah dalam tubuhku ini berlesir dengan kencang. Aku takut. Tangan kiriku memegangi badan ayunan yang terbuat dari kayu, sedang tangan kananku menggengam erat jemari Reyhan. Dia terima saja. Teriakanku terlontar lepas seraya mengikuti irama ayunan kora-kora ini. Awalnya aku teriak takut, tapi kemudian aku tertawa lepas. Aku menoleh ke kanan. Reyhan menyunggingkan senyuman dari samping tempat ia duduk.
“Kenapa kamu? Kok diem aja?” Tanyaku berteriak meski kami hanya duduk berdampingan dengan jarak yang tak lebih dari sepuluh senti. Jelaslah harus berteriak, karena semua penumpang disini mengadukan suaranya seirama dengan ayunan.
Reyhan tak langsung menjawab. Tangan kanannya merangkul pundakku dan ia menukar tangan kirinya untuk tetap menggengam tanganku. Meski kaget dan heran, tapi tak ku lepaskan.
“Citra! Aku pengen ngomong sama kamu!” suaranya teriak seperti kami berbicara jarak jauh.
“Yaudah ngomong aja, repot amat” balasku dengan suara yang tak kalah keras.
Tapi dia malah diam, bibir dan pipinya sumringah menatapku.
“Kenapa sih? Puas ya liat aku teriak-teriak?”
 “AKU SUKA SAMA KAMU!”
Duaraarrr!! Bersama ayunan ini nyawaku rasanya terlempar jauh ke langit tapi ragaku terbanting di bumi. Aku membisu dan meyelami wajahnya dengan bola mataku. Kurasakan seolah jantungku berhenti berfungsi di tengah riuhnya kora-kora ini.
“KAMU MAU NGGAK JADI PACARKU?” teriakannya semakin keras. Sepertinya ia sengaja ingin mengalahkan pekikan penumpang lain yang sedang girang. Beberapa orang yang duduk di depanku sempat menoleh ke arah kami. Membuatku tambah panik, tapi Reyhan hanya terfokuskan dengan pertanyaannya yang barusan ia lontarkan kepadaku.
Aku menepisnya dengan senyuman. Tanpa berpikir panjang aku mengangguk. Ia semakin bungah, berteriak sambil memelukku. Sejak malam itu juga kami resmi pacaran. Sesampainya di rumah aku nyaris tak percaya. Seraya kejutan, ia menembakku di Kora-kora pasar malam.