Minggu, 19 Februari 2023

How could I become an Overthingker

Hai, udah lama nggak buka blog, apalagi nulis di blog. Untung blogspot ini bukan makhluk hidup ya, coba kalo blogspot ini manusia, udah nggak ngerti segimana malunya aku tiap ke sini pasti selalu dengan perasaan dan kondisi hati yang kacau. Seperti yang aku tulis di halaman atas bahwa menulis adalah caraku untuk mengungkap yang tak terucap, karena nulis adalah pelampiasanku saat aku udah nggak tau lagi harus cerita kemana.
Aku mengawali tahun 2023 dengan sebuah masalah yang mungkin sebenernya udah lumrah dialami seorang cewek, tentang trust issue dan overthingking. Tapi di tulisan ini mungkin aku bakal bahas tentang overthinking dulu kali ya. Semasa kuliah, aku punya temen yang ngevalidasi dirinya adalah seorang overthinker, dan aku selalu nggak setuju dengan itu. Buat apa kita memikirkan hal-hal yang belum tentu benar terjadi, karna itu cuma bikin kita rugi sendiri. Kita mikirin orang lain yang padahal belum tentu orang itu punya masalah sama kita. 
Dan semasa kuliah juga, aku dikenal sebagai orang yang sangat selaw, nggak baperan, dan nggak pernah kepikiran yang berkaitan dengan hubungan, entah dari segi pertemanan atau pasangan. Dan bener, semasa kuliah aku emang udah cukup sibuk dengan kegiatanku sendiri; kuliah, organisasi kampus, organisasi global, dan masih kerja parttime. Aku nggak ada waktu untuk punya masalah personal yang bersinggungan dan seseorang. 
Lulus kuliah pun aku langsung kerja di Jakarta. We all know nggak semua orang bisa survive di kota besar sendirian, apalagi waktu itu usiaku masih 22. But I did it, I proud of myself. Sampe akhirnya pertengahan 2020 aku harus pulang ke Jogja, justru disitu aku kayak shock culture dengan segala kebebasan dan segala hal yang udah ada. Wkwk aneh ya, shock culturenya bukan waktu di Jakarta tapi justru waktu balik Jogja. Aku nikmatin waktuku untuk maksimalin main-main sampe nggak sadar ada hati yang berpotensi tersakiti.
Ternyata sakit banget rasanya ditinggal doi sama yang lain. Kayak tiba-tiba bikin kita ngrasa nggak berharga, selalu ngerasa bersalah karna nggak bisa menjadi pilihan yang dipertahankan. Sedihnya, kita nggak dapet jawaban kenapa orang itu lebih pilih meninggalkan, meskipun kalau kita tau alasannya itu pasti bikin makin sakit & makin ngerasa bersalah sama diri sendiri, ngerasa nggak berharga. Ibarat kata menggali kuburan sendiri.
Habis itu, Sempet sama orang pun kebetulan jago banget bikin overthingking. Selalu membuatku bertanya-tanya, tentang apa arti keberadaanku bagi dia sebenernya. Dia nggak pernah dengan gentle untuk mengungkapkan apa yang sebenernya dia inginkan dan dia rasakan. Sampai akhirnya aku mengambil kesimpulan bahwa mungkin sebenernya dia hanya megganggapku ada untuk sekedar mengisi hari-harinya. Jadi ya... ada aku alhamdulillah, kalo nggak ada yaudah :) gitu kan?
Dari situ aku baru bisa ngevalidasi perasaan overthinking. Dan emang bener ngerugiin diri sendiri, karena waktu dan energi kita terforsir untuk memikirkan hal yang gak jelas. Nggak percaya diri, nggak percaya sama orang, ragu-ragu dalam melangkah, selalu cemas dan khawatir tentang suatu hal yang mungkin akan kejadian, dan mungkin juga tidak. Belom lagi kalo ada bumbu-bumbu trust issue, asli bikin kita makin depresi. 
And that's all a story about how could I become an overthingker. Postingan ini gak bertujuan untuk memberikan self labelling of being an overthingker yah, hanya memberikan validasi bahwa hal itu wajar terjadi dan tidak cukup mudah untuk dihindari. Selebihnya bakal aku bahas di postinganku berikutnya :)

Senin, 14 Juni 2021

Tentang Harapan dan Ketidakpastian

Adanya harapan bisa membuat seseorang mampu bertahan. Adakalanya juga melepas harapan harus dilakukan untuk mengurangi ketidakpastian. Mungkin benar apa katamu, aku tak cukup percaya diri untuk bisa menjadi pasangan yang tepat. Tapi apakah kamu tau? Kamu pun tak pernah meyakinkanku jika memang benar-benar kau membutuhkanku. Kau tak pernah mengungkapkan jika memang benar-benar ingin terus bersamaku. Wajarkah jika aku berpikir bahwa hanya aku saja yang menginginkanmu? Hingga sampai akhirnya, kamu pun melepasku tanpa sedikitpun usaha mempertahankan. Sekecil studi kasus yang aku lontarkan, memancingmu dengan mudah melepaskanku. Kamu bahkan tidak mempertanyakan lagi, apakah keputusan itu benar baik bagi kita berdua, atau hanya ego semata. Aku yang bahkan tak berniat ke arah situ, harus terpaksa menahan diri untuk melihat reaksimu dan mengikuti alurmu. Aku menahan diri untuk tidak memaksakan keadaan. Aku menahan diri untuk tidak terlalu banyak mengungkapkan. Biarkan saja, biar aku yang melihat bagaimana reaksi dan perasaanmu yang sebenarnya.

Mungkin aku akan tidak terima Ketika suatu saat nanti kamu membaca tulisan receh ini dan menganggapku remeh, menyepelekan setiap kalimatku begitu saja. Tapi setidaknya untuk saat ini, apa yang aku tulis di sini adalah segala apa yang aku rasakan, yang mungkin belum sempat terucap dan terungkap. Dan segala apa yang aku tuangkan di sini, adalah murni upayaku untuk mencairkan beban yang menggumpal, murni menyampaikan pertanyaan yang berhenti di tenggorokan.

Jumat, 14 Februari 2020

Ulang Tahun Kedua di Perantauan (2020)

          Tepat satu tahun aku bekerja di Ibukota. Menjalani hari-hari bersama kolega yang selalu bekerja dengan tak lupa bercanda. Aku nyaman di sini, di tempat ini, bersama mereka. Diluar konteks tekanan kerja, tim kami bekerja layaknya keluarga. Dengan jiwa-jiwa muda, kami memiliki selera humor yang sama. Milenial, begitu konsep pekerjaan di perusahaan kami. Berbeda dengan cerita ulang tahunku sebelumnya, kali ini aku merasa sangat dirangkul sekali. 
          Ucapan selamat, lantunan lagu, potong kue dan tiup lilin, menjadi cerita bahagia di hari Kamis, 16 Januari bulan lalu. Aku sangat-sangat bersyukur dengan tim ini. Sebagai yang termuda, aku menganggap mereka semua kakak-kakakku. Begitu pula dengan mereka memposisikanku sebagai yang terbontot.
          Lepas dari tim kerja, aku beralih kepada teman-teman sebaya yang pernah menjadi bagian dari rekan kerjaku. Lebih tepatnya, mereka yang tak bertahan lama disini. Kami masih menjalin hubungan baik meski sudah tak menjadi satu atap perusahaan. Bahkan kami menghabiskan waktu bersama untuk merayakan pergantian tahun baru 2020 di Bandung. Mereka teman sebayaku, mereka teman di perantauanku.
          Berbicara tentang mereka di perayaan ulangtahunku, tentu tak lepas dari peran salah satu orang terkasih yang sudah hampir satu tahun ini menjadi pelabuhan untuk hatiku. Dia yang pertama kali kukenal pada awal 2017 di kota asalku, dan baru menjalin komunikasi intens pada awal 2019 lalu. Dia yang sedang berada di pulau asalnya, menyempatkan waktu untuk mengunjungiku di Ibukota ini untuk menemaiku menyambut usia baru. Aku sama sekali tak menyangka bahwa dia bisa merencanakan ini semua. Dia memasuki ranah teman-temanku untuk menciptakan moment ulangtahunku. Lagi, potong kue dan tiup lilin di malam itu. Aku benar-benar tak menyangka, dia bisa menjadi satu dengan lingkup pertemananku yang belum pernah aku kenalkan dia sebelumnya.

Dearest, thank you for giving me such a unexpected precious moment on my day. 
Thank you for bring them out just to let me blow the candle of cake on your hand.
Thank you for being here, Thank you for being mine.

***


Jakarta, 2020

Jumat, 17 Januari 2020

Ulang Tahun Pertama di Perantauan (2019)

          Januari 2019 adalah awal adaptasiku dengan hidup baru; mengawali hari-hari sebagai seorang pekerja ibukota yang tinggal jauh dari keluarga. Aku tak punya siapa-siapa di sini, kecuali beberapa teman kuliah yang dibilang dekat pun nggak terlalu. Hingga pada saat tiba hari ulang tahunku yang ke-23, aku menyadari sesuatu; mungkin kali ini aku ditakdirkan untuk sendiri; mengapresiasi diri. 
         Aku merayakan dengan renungan. Dengan secarik kertas untuk menulis apa saja yang telah kudapat selama hidup. Lebih tepatnya tentang sebuah pendewasaan yang terlatih dari beberapa hal berat yang pernah kualami. Aku tak saja fokus dengan masalah, namun juga kureview seluruh anugerah dari Tuhan yang telah dititipkan kepadaku selama ini dengan tanpa kusadari.
      Disaat aku masih berada dalam proses pengenalanku terhadap lingkungan kerja, aku tak mendapat ucapan ulang tahun yang tulus disampaikan kecuali hanya sebatas formalitas. Baiklah, aku mengerti. Aku memang bukan siapa-siapa untuk mereka. Namun ada sebait masa lalu yang masih mengiringi penambahan umurku di kota asing ini. Rasanya keberuntungan masih sedikit memihakku sebagai anak rantau pemula.
           Dia yang sudah mengambil keputusan bulan lalu, dia yang memang kujalani dengan ragu. Akhirnya tidak ada lagi kita sejak saat itu; satu bulan sebelum ulang tahunku. Aku tidak menyesal karena aku sudah melepas dengan ikhlas. Fokus memulai hidup baru untuk bersiap bekal masa depanku, entah dengan siapa nanti. 
             Dia menghampiriku di kota ini. Sudah kuberi aba-aba bahwa tidak akan ada lagi kita setelah pertemuan kami berdua. Dia pun sepakat. Tetap menghampiri tanpa mengurungkan niat. Hambar. Semua terasa pias. Aku berjalan tanpa ada lagi perasaan. Lontaran canda dan tawa palsu menjadi teman sepanjang perjalanan itu. Aku memang sudah tidak akan bisa menjadi seseorang yang menyandingnya. Mungkin, memang lebih baik untuk sendiri. Terima kasih, atas kedatanganmu untuk menjadi satu-satunya orang yang merayakan penambahan umurku. Terima kasih untuk satu-satunya kue dan lilin yang kutiup tahun lalu.

***


Ditulis tepat satu tahun setelah kejadian,
Jakarta, 2020.

Rabu, 09 Oktober 2019

A Blessing Love

Thanks God. I’m feeling blessed today.

I finally found the one I wish to spend the rest of my life. I have indescribable feeling except love and comfort while I’m leaning on him. No reason for my fear. No space for my sadness. No one else who will love me like he will.

And again; Thanks God. 
Thank you for giving me lots of love and happiness through someone called mine. 

Dearest Mine,
May Allah bless us to the marriage as we wish.
Aamiin 🤲🏻