Hujan tak kunjung reda. Angin berhembus mendesah melalui celah jendela kamarku yang terletak persis di tepi gang kampung yang permai ini. Jalanan selalu sepi tiap malamnya, dan suasana itu lah yang seringkali menghantarkan aku pada lamunan seperti saat ini. Menghipnotisku, dan merasuk pada ruang pikir yang paling dalam. Duduk bersantai di sofa merah kesayangan, dan sesekali aku menjamah bangku belajar hanya untuk memamerkan muka pada angin di luar jendela. Masih dengan alasan yang sama, lelaki itu tentunya.
Namanya Damar, sosok turunan Adam
yang tak kunjung bosan membuatku untuk memikirkannya. Entah menggunakan ilmu
apa, dia selalu menyita perhatianku dan mengaguminya sampai saat ini. Ya, meski
pula sering ku dengar celotehan buruk teman-temanku tentang pandangannya
terhadap Damar. Yang mereka bilang cupu,
pongoh, nggak romantis, dan mereka selalu menganggap Damar itu aneh. Namun
keanehan itulah yang menjadikan teka-teki sebagaimana tema lamunanku sepanjang
hari. Suatu topik permasalahan yang tak kunjung terpecahkan. Cinta
membutakanku.
“Doorrr!!
Galau cyiiinnn? Belum bosen mikirin si pongoh itu? Hati-hati lho, ketularan
aneh baru tau rasa. ‘Seorang Prita yang terkenal eksis di sekolah sudah
terpengaruh spesies langka’ Ha..ha.. bakal jadi berita di majalah sekolah. Udah
siap mental, bos?”
“What
the hell !!! Bisa nggak sih sopanan dikit? Main nylonong aja, masuk kamar orang
tuh ketuk pintu dulu. Iya kebetulan gue ngelamun, kalo lagi ganti baju gimana?
Birahi baru tau rasa lo!”
“Idiiiihhhh
najis, kepedean! Tanya tu sama Damar, dia nafsu nggak ama lo? Eh..boro boro
nafsu, pegang tangan dan pelukan aja mungkin dia baca mantra dulu. Ha..ha.”
“Berisik!!
Mau keluar sekarang atau gue siram air teh ini mumpung masih panas??”
Emosiku
telah memuncak. Bantal dan guling yang aku lemparkan ternyata tidak bermanfaat
untuk segera mengusir kakak laki-laki yang sangat menyebalkan itu, kemudian ku
hadapkan segelas teh tepat satu kepal di hadapan mukanya. Niatnya memang baik, mengantarkanku segelas
teh hangat titipan mama. Namun sifatnya yang usil dan cerewetnya sering ia
gunakan untuk menghina, membuat aku tidak pernah menghargainya sebagai seorang
kakak. Selisih usia kami hanya tiga tahun, bagai teman sepermainan yang tidak
memiliki kedewasaan lebih pada salah satunya.
Aku
kembali memposisikan diri di sofa merah ini, namun rasanya telah berbeda. Aku
seperti kehilangan bayang-bayang Damar sesaat sebelum kak Petra
menghancurkannya. Namun, aku jadi kepikiran kata-katanya.. ‘pegang tangan dan pelukan aja dia baca mantra
dulu.’ Darimana kak Petra tahu kalau aku dan Damar jarang..em maksudku
tidak pernah. Ya, kami tidak pernah bermesraan layaknya dua sejoli yang dibakar
cinta membara. Aku pun tidak tahu, kenapa tanpa kemesraan aku tetap merasakan
kasih sayang dari Damar? Nah..itu yang aneh! Apakah ini cinta telepati?
Dia
menyatakan cintanya lain dari lain. Tidak seperti mantan-mantanku sebelumnya
dan tidak pula seperti kisah roman lainnya. Kami hanya duduk berdampingan dalam
acara seminar satu setengah tahun yang lalu. Karena kepentingan yang sama, mau
tidak mau kami harus berhubungan dan menjalin komunikasi sesering mungkin.
Hingga tiba saatnya acara yang kami laksanakan, dia memulainya. Dia bukan Romeo
yang bersimpuh di kaki Juliet. Dia bukan pemberi kejutan dengan balon dan pemeriah
lainnya. Dia juga bukan mantanku yang menyembunyikan mawar merah di balik
punggungnya. Tapi dia Damar, humas seminar dan aku seksi acara.
Perbincangan
kami kala itu tidak keluar dari kebutuhan acara seminar. Namun dia mengambil
celah dan menyatakan pernyataan aneh. Dia tertarik, dan menyukaiku. Ya, sekedar
dua kata penuh makna. Bukan kata cinta maupun memintaku jadi kekasihnya. Aku
melihat keseriusan di tengah kepolosan wajahnya kala itu. Benar-benar membiusku
dari kata-kata. Bagaikan petir menyambar ditengah panasnya suasana. Angin
berdesis menggugurkan dedaunan dan menyapunya sampai ke tengah jalan. Dan aku
berdiri sendiri tidak tahu apa yang harus aku perbuat, atau sekedar berlari
melindungi diri dari serangan tak terduga.
Namun
tiba-tiba seseorang menepuk bahuku dari belakang. Dengan wajah gagu aku
menolehnya. Dia memberitahukan bahwa aku dipanggil Pak Soma sebagai penanggung
jawab acara semnar itu. Yang kemudian memaksaku harus beranjak dari kursi
tempatku terpaku. Aku meninggalkan Damar tanpa satu kata respon maupun kata
pamitan. Bingungnya, kenapa harus ada acara melongo seperti tadi? Bukankah aku
tidak ada feeling buat lelaki kalem itu? Kenapa tidak saja langsung ku abaikan?
Dan saat-saat itu masih kuingat jelas dalam bayang-bayang tiap malamku.
bersambung TERSIRAT #2
bersambung TERSIRAT #2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Sederhana, tidak sempurna, kesalahan pasti ada. Bagaimana menurutmu?