Semburat senja menjadi hadiah
terindah langit sore itu. Jingga semu merah. Kami masih duduk berdampingan,
mengayunkan kaki bergelantungan. Sudah hampir tiga jam sebelum maghrib kami
berada di sini, di Bukit Bintang. Tepatnya di tanjakan jalan Jogja-Wonosari di
mana tempat ini adalah tempat yang diperebutkan kawula muda untuk mengukir
cerita berhias tawa. Ditemani pedagang kopi keliling dan penjual jagung bakar
yang selalu menawarkannya pada pengunjung. Jajanan itu adalah hiburan kedua setelah
pemandangan yang terhampar luas sejauh mata memandang, di bawah bukit ini.
Mendengar adzan, dia mengajakku bergegas meninggalkan tempat itu. Bukan karena
terburu-buru, tapi karena panggilan sholat yang dikerjakan lebih cepat lebih
baik. Motornya dikemudikan menuruni tanjakan menuju perkotaan. Mencari masjid
terdekat. Seusai sholat kami tak lekas pulang, dia mengajakku makan di warung
makan padang yang tak terhitung mahal. Terjangkau. Hatiku dihinggapi penuh rasa
canggung, duduk berhadapan dengan lelaki yang kugandrungi. Hidangan yang
kumakan bahkan tak terasa nikmatnya dibanding saat aku menyusuri tiap senti
lekuk wajahnya. Tampan. Kutemukan sesungging senyum bersemayam di bibirnya yang
tipis. Manis.
***
“Kenapa
kamu, kok ngliatin aku khusyuk amat?”
Gawat! Dia mendapati aku yang sedang
melongo menatapnya.
“Aku ganteng ya?” Pedenya kelewat
batas.
Saat itu juga aku tersedak oleh nasi
putih yang terkunyah bersama suwiran ayam rendang. “Hah? Ee..ee..enggak! Siapa
juga yang ngliatin kamu, pede!” Sanggahku dengan nada yang tak beraturan.
Hubungan kami memang tak lebih dari
teman, bahkan ia terlalu menyebalkan untuk dijadikan teman. Cuek, berkepala
dingin. Tapi kenapa lelaki itu akhir-akhir ini menjadi pusat rotasi hatiku?
Sesibuk apapun kumencari jawaban, tak kunjung kutemukan.
“Udah nggak usah ngeles,” tukasnya sembari memasukkan makanan ke mulutnya. “Eh
habis ini ke sekaten yuk?” tambahnya.
Kali ini wajahnya tampak serius. Tapi
tetap saja mengherankan, ini pertama kalinya dia sudi untuk akur denganku.
Biasanya, uring-uringan.
“Hah? Ngapain ke sana? Kayak kurang
kerjaan aja.”
“Temenin dong, aku belum pernah ke pasar malem kayak gituan. Banyak mainannya
kan?”
“Ya terus? Mau naik bianglala?”
“Nggak. Mau mbuang kamu ke tong setan.” Kemudian ia tertawa jahat.
Seketika ketampanan yang baru saja
kunikmati telah hilang. Ia kembali menyebalkan. Tapi ia terus memaksaku dengan
tatapan melas yang sulit ditolak. Akhirnya aku menyetujui ajakannya.
***
Sesampainya di Alun-alun, aku kembali
menanyakan apa tujuan ia kemari. Tapi tak ada jawaban. Dengan langkahnya yang
angkuh ia terus menapaki seluruh lorong-lorong jalanan di antara lapak-lapak
yang ada. Aku mengikutinya di belakang.
“Hey! Harus berapa lama lagi kita
jalan tanpa tujuan?” keluhku dengan bibir manyun andalan.
Tapi ia tak menoleh. Aku tak digubris. Padahal
aku sudah sedikit berteriak karena suara orang-orang yang berlalu lalang cukup
berisik. Ditambah lagi dengan suara-suara berbagai jenis wahana permainan yang
menghebohkan. Gegar membahana. Ada komidi putar, jinontrol, bianglala, bom-bom car, dan yang paling riuh adalah suara
dari rumah hantu yang berada tak jauh di sebelah kanan kami.
“Reyhan!” teriakku memanggil namanya.
Kali ini sungguh aku merasa lelah untuk melangkah. Masih saja ia tak mendengar.
“Reyhan!” Lagi, kupanggil namanya.
“Kenapa sih?” akhirnya ia menoleh.
Aku berhenti sejenak. Sedikit
membungkuk untuk mengelus lututku yang terasa pegal.
“Kamu capek?”
Aku diam tak menjawab. Kuputar-putar
kepalaku mencari tempat yang bisa untuk mengistirahatkan pantat dan kakiku. Tak
jauh dari tempatku berdiri, ada awul-awul
yang dipadati pembeli sehingga penjualnya sibuk melayani. Kursinya menganggur.
Aku menghampiri kursi tersebut yang sepertinya akan nyaman untukku sementara.
Reyhan mulai mengerti.
“Yaudah kamu tunggu sini bentar ya,
jangan ke mana-mana.”
“Hey kamu mau ke mana? Jangan ninggal
aku sendiri dong!” Lagi-lagi aku dibuatnya kesal.
Ia langsung saja melangkah meninggalkanku.
Saking capeknya aku memutuskan untuk tidak mengejarnya. Beberapa menit
kemudian, dia datang.
“Nih, satu buat kamu, satu buat aku.”
Kulihat dia datang membawa senyuman,
dengan dua arumanis yang satunya diberikan padaku. Dengan diam aku menerimanya.
Sambil makan, ia berdiri di sampingku. Diam. Tak ada obrolan.
...
“Jalan lagi yuk?” ajaknya kemudian.
Aku menatap matanya yang redup. Moodku sudah kembali.
“Kamu ngambek ya Cit? Kok diem aja?”
kepalanya sedikit menunduk untuk menatap wajahku.
“Udah deh nggak usah sok perhatian.
Pulang yuk?” tukasku.
“Aku belum mau pulang.”
“Tapi aku capek.”
“Yaudah kamu mau mainan apa deh biar
nggak capek? Aku traktir.”
“Heh di mana-mana kalo capek ya
istirahat, pulang. Bukan mainan!” bantahku sewot.
“Ya tapi ini belum kelar.”
“Apanya? Perasaan dari tadi juga
nggak ngapa-ngapain.”
“Aku tuh dari tadi mikir.”
Ucapannya semakin susah untuk dicerna
otakku. Tapi saat itu juga aku menyimak usahanya untuk menghilangkan rasa jenuh
dan lelahku. Obrolan kami semakin hangat. Dia membelikan aku satu cup es teh yang dijual dengan mobil
terbuka dekat food court di pasar
malam itu. Kembali kami menyusuri tanah Alun-alun tanpa tujuan. Sampai akhirnya
ia mengajakku naik komidi putar. Tapi kutolak. Masih ingat jelas tahun lalu
setelah aku naik komidi putar mendadak pusing dan mual. Sampai di rumah aku
muntah-muntah dan keesokan harinya aku tidak berangkat sekolah.
“Oh jadi ada trauma?” pertanyaan yang
sekiranya tak perlu dijawab.
“Bianglala aja yuk?” ajakku.
“Nggak ah. Nanti kalo mendadak kita
berhenti pas di atas sendiri gimana? Horor ah.”
“What?! Jadi, kamu takut ketinggian?
hahaha”
“Eh, eh, bukan gitu, maksudku....emm,
gimana kalo kita naik kora-kora aja?”
Aku menengok sekitar. Ternyata yang
dimaksud adalah wahana yang tampak seperti ayunan besar berbentuk kapal, berisi
banyak orang. Aku diam. Berpikir sejenak. Meragukan ajakannya sebelum akhirnya
aku menolak karena menyimak orang-orang itu seperti teriak histeris ketakutan.
“Ya ampun terus kamu maunya naik apa,
Cit? Kenapa sih, takut ya sama kora-kora?”
Aku
diam.
“Itu jalan tengah buat kita, yang
nggak bikin kamu pusing, dan yang nggak nyinggung phobia-ku.” Dia menjelaskan. “Udah deh, nggak papa, nggak usah
takut ya, ada aku kok. Lagian orang-orang itu teriak sambil ketawa, bukan
ketakutan.” Ucapnya meyakinkanku.
Tiba-tiba ia menyeret tanganku menuju
loket pembelian karcis. Kuturuti keputusannya.
Aku menaiki kora-kora itu dengan
langkah yang ragu. Tapi Reyhan, yang tepat berada di depanku melangkah dengan
mantap. Gandengan tangannya tak kunjung lepas. Pukulan gendang di jantungku
semakin dapat kurasakan. Akhirnya ayunan ringan meluncur, diciptakan oleh
pegawai kora-kora yang berdiri di sudut belakang. Ia mengayunkan kapal tiruan
ini sekuat tenaga. Terus. Diulang-ulang. Berulang-kali.
Ya ampun. Kurasakan peredaran darah
dalam tubuhku ini berlesir dengan kencang. Aku takut. Tangan kiriku memegangi
badan ayunan yang terbuat dari kayu, sedang tangan kananku menggengam erat
jemari Reyhan. Dia terima saja. Teriakanku terlontar lepas seraya mengikuti irama
ayunan kora-kora ini. Awalnya aku teriak takut, tapi kemudian aku tertawa
lepas. Aku menoleh ke kanan. Reyhan menyunggingkan senyuman dari samping tempat
ia duduk.
“Kenapa kamu? Kok diem aja?” Tanyaku
berteriak meski kami hanya duduk berdampingan dengan jarak yang tak lebih dari
sepuluh senti. Jelaslah harus berteriak, karena semua penumpang disini
mengadukan suaranya seirama dengan ayunan.
Reyhan tak langsung menjawab. Tangan
kanannya merangkul pundakku dan ia menukar tangan kirinya untuk tetap
menggengam tanganku. Meski kaget dan heran, tapi tak ku lepaskan.
“Citra! Aku pengen ngomong sama
kamu!” suaranya teriak seperti kami berbicara jarak jauh.
“Yaudah ngomong aja, repot amat”
balasku dengan suara yang tak kalah keras.
Tapi dia malah diam, bibir dan
pipinya sumringah menatapku.
“Kenapa sih? Puas ya liat aku
teriak-teriak?”
“AKU SUKA SAMA KAMU!”
Duaraarrr!! Bersama ayunan ini
nyawaku rasanya terlempar jauh ke langit tapi ragaku terbanting di bumi. Aku
membisu dan meyelami wajahnya dengan bola mataku. Kurasakan seolah jantungku
berhenti berfungsi di tengah riuhnya kora-kora ini.
“KAMU MAU NGGAK JADI PACARKU?”
teriakannya semakin keras. Sepertinya ia sengaja ingin mengalahkan pekikan
penumpang lain yang sedang girang. Beberapa orang yang duduk di depanku sempat
menoleh ke arah kami. Membuatku tambah panik, tapi Reyhan hanya terfokuskan
dengan pertanyaannya yang barusan ia lontarkan kepadaku.
Aku menepisnya dengan senyuman. Tanpa
berpikir panjang aku mengangguk. Ia semakin bungah, berteriak sambil memelukku.
Sejak malam itu juga kami resmi pacaran. Sesampainya di rumah aku nyaris tak
percaya. Seraya kejutan, ia menembakku di Kora-kora pasar malam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Sederhana, tidak sempurna, kesalahan pasti ada. Bagaimana menurutmu?