Masa-masa itu telah berlalu. Meninggalkan
sebaris memori yang tak bisa pudar tentang sebuah perjuangan. Sejak awal aku
memang tahu, kebutuhanmu akan diriku tak akan lama. April puncaknya. Dan
kini, aku hanya sebagian kecil dari secuil memori yang tergilas oleh mesin
waktu.
***
Tak banyak pelajar yang sudi
berteman denganku atas kesadaran mereka pribadi. Hanya orang-orang tertentu
saja yang mengacuhkan aku dengan segala konsentrasinya untuk menghabisi anak buahku yang terpampang dengan sempurna. Sebagiannya lagi, hanya menganggapku bagai rontokan sehelai rambut
yang tak berarti.
Kali ini aku akan menceritakan
teman-temanku di sekolah. Sekolah Menengah Atas. Bapak ibu guru senantiasa
mempercayai aku menjadi wadah pengetahuan yang hendak mereka berikan pada
muridnya. Terlebih untuk mengasah kemampuan atas pelajaran yang telah diberikan.
Ini amanah paling mulia yang sering aku dapatkan di sekolah.
Aku tak banyak berteman dengan
murid-murid kelas satu. Mereka tak beda dengan anak ingusan yang hanya bisa
bersenang-senang tanpa menyadari kewajibannya di sekolah. Enam hari dalam
seminggu, mereka jalani tanpa target dan tujuan yang jelas.
Kewajiban dan rutinitas,
terkadang memang sulit untuk dibedakan.
Risau hatiku, setelah tersodor di
hadapan mereka yang tampak gerogi untuk menyentuhku. Gelagatnya sudah terbaca. Tak
banyak yang bisa mereka lakukan selain menulis nama dan nomor absennya. Setelah
itu, mereka menganggur tak tau harus berbuat apa. Seandainya mereka tahu,
betapa sakit hatiku harus termangu menjadi alas tidurnya. Mereka tak menghargai
amanah yang sudah kusampaikan di depan matanya.
Tanpa kedewasaan mereka tak akan
memiliki kesadaran.
Saat waktu yang diberikan hampir
habis, mereka baru kebingungan. Menghalalkan segala cara untuk menjawab soal
yang terbubuh pada tubuhku. Miris.
***
Perlahan aku berdamai dengan
murid-murid kelas dua. Setelah penjurusan mereka lebih bisa belajar intensif,
itulah mengapa mereka tak lagi secuek saat mereka kelas satu. Sudah lebih
dewasa, mungkin. Aku mendengar dua gadis berbisik mencurahkan keluh kesah. Sepertinya,
mereka bersahabat. Mereka teman sebangku.
Aku menyimak salah satu dari
mereka menyandarkan kepala di bahu lawan bicaranya. Aku tak mendengar banyak
obrolan mereka. Tapi kulihat dari ekspresinya, sepertinya mereka sedang tak
bahagia; membicarakan masalah yang cukup serius, mungkin.
Tak lama kemudian, gadis pemilik
bahu itu menegakkan badannya. Membuat lawan bicaranya juga harus mengangkat kepalanya
dan membenarkan duduknya. Mereka beringsut mendekatiku yang sedang tergeletak
cantik di meja. Nah, suaranya semakin jelas untuk kudengar.
“Semangat dong! Kita udah
semester dua, bentar lagi kita kelas tiga. Beberapa bulan setelah itu kita
banyak pendalaman materi. Inget, waktu gak panjang lho buat mematangkan
persiapan ujian nasional.”
Aku menghela napas. Lega. Rupanya
gadis itu memiliki kesadaran akan tanggung jawabnya sebagai pelajar. Sepertinya
ia memiliki alur yang jelas untuk menyelesaikan studinya. Bagus. Orang-orang
seperti itu tak akan pernah mengabaikanku. Dan orang seperti itulah sahabatku,
yang mampu membuatku tersenyum untuk merasakan bagaimana senangnya dihargai.
Aku merasa berharga, karena aku
bermanfaat.
***
Selamat datang, tahun ajaran
baru! Akan banyak murid yang-mau nggak mau-harus bersahabat denganku.
Tapi, tidak untuk mereka yang
dulu mengabaikanku, bahkan menjadikan aku alas tidurnya di kelas. Pasti saat
kelas tiga ini mereka terpontang-panting mengejar materi. Salah siapa, dulu
harusnya bisa menghargai aku dengan sebaik mungkin. Tapi, mereka tak menganggap
aku ada. Tak berharga.
Gadis itu, membabat habis butir-butir soal berparas indah mempesona yang aku
suguhkan. Ia menghargai setiap detil nomer yang ia kerjakan. Setelah bisa, ia
lanjut ke nomor berikutnya. Saat tak bisa, ia menentengku berpindah tempat
mendekati orang lain yang sekiranya dapat memberinya penjelasan, sampai ia
memiliki keyakinan untuk menyingkirkanku dengan embusan napas puas.
Lima bulan menuju bulan April. Aku
beredar lebih banyak dengan variasi yang beragam, demi membantu murid-murid
kelas tiga mempersiapkan ujian akhir nasional yang kian menghadang. Saat aku
jatuh di tangan orang yang salah, aku akan tercerai-berai. Seolah mereka telah
muak dengan tampangku yang membosankan. Tak apa. Tak terawat. Aku sudah
biasa.
Tapi bersama gadis itu, aku
merasa harga diriku tinggi. Dia menyimpan tiap kopian yang ia dapat. Mengusap-usapku
lembut sebelum ia masukkan ke dalam map plastik bergambar bunga mawar. Ia selalu
memastikan bahwa aku tak terlipat. Rapi.
Aku sempat mendengar keluhannya
bahwa ia sudah lelah. Lelah berjuang. Lelah terlalu sering berkutat denganku. Dalam
hati aku sedih. Tapi aku adalah saksi bisu terhadap perjuangannya. Aku tau
betul semangatnya, keseriusannya, dan segalanya yang ia persiapkan
matang-matang demi meraih tujuan akhirnya.
Aku bangga terhadapnya.
Nyawaku ada bersama orang-orang
yang mau berjuang.
***
Juni 2014.
Sudah dua bulan lamanya aku
diistirahatkan bersama tumpukan-tumpukan buku di sudut kamarnya, gadis itu.
Pagi itu cerah, kutatap ia yang
sedang sibuk menata ruangannya. Aku sumringah. Sepertinya aku bakalan kembali tersentuh, pikirku.
Tak dapat kupisahkan rasa senang
dan sedihku. Ia menatapku dalam-dalam, bola matanya yang hitam seakan larut ke
dalam masa sebelum April menghadang; perjuangan. Aku senang ia begitu
mengingatku penuh arti. Tapi belaiannya yang lembut, mengisyaratkan perpisahan.
Sepertinya ia akan memindahkanku untuk tak lagi berada di kamarnya.
Waktuku telah usai. Manfaatku tak
lagi ada.
Aku pernah bersinar kala itu. Namun
kini, setelah perjuangan dan tujuannya kelar, aku tak lagi berhak memintanya
untuk menghargaiku. Sekarang waktuku untuk tersenyum dalam kedamaian di dalam gudang.
Tuhan, hargailah perjuangannya. Berikan
hasil yang terbaik atas usahanya.
Tantangan menulis #NarasiSemesta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Sederhana, tidak sempurna, kesalahan pasti ada. Bagaimana menurutmu?