Sudah cukup aku hidup
jadi benalu. Terkatung-katung menjalani aktifitas harian tanpa tau tanggung jawab
dan tujuan masa depan. Berbicara masa depan, sedikit menyeramkan, memang.
Karena kita tak pernah tau apa yang akan terjadi esok hari. Terlebih, perubahan
pikiran yang bisa melanda kapan saja.
Sembilan belas tahun
aku melahap nikmat hasil usaha dan jerih payah orang tua. Ya, meskipun aku
masih menjadi tanggungan mereka, tapi, tak ada yang tau kan kalau (maaf) krisis
ekonomi bisa melanda kapan saja?
Selama ini, aku adalah
konsumen aktif untuk tiap rejeki yang mereka dapatkan. Uang, terutama, dan yang
paling utama. Cuma bisa merengek, minta ini atau itu, untuk keperluan ini dan juga
itu. Minta-dikasih-habis-minta lagi. Begitu seterusnya.
Aku, remaja yang
usianya hampir dua puluh tahun ini, belum sepenuhnya hidup mandiri dan
berkembang. Haha, mandiri? Tau apa aku tentang kata itu? Apalagi berkembang.
Sore kemarin, aku
berpikir.
Aku sudah lulus SMA, dan kini menyandang status sebagai mahasiswa.
Mahasiswa, dosenku bilang itu terdiri dari dua kata, yaitu Maha dan Siswa.
Siswa yang paling maha? Mungkin begitu, atau bukan? Oke, lupakan. Yang intinya,
aku bukan sebuah robot yang setiap pagi dibangunkan oleh dering alarm untuk kemudian mandi dan pergi
sekolah dengan berseragam rapi. Aku bukan robot yang disetting untuk belajar di
sekolah selama delapan jam dan kemudian pulang untuk tidur siang. Aku bukan
robot yang menjalani aktifitas rutin tanpa hasil yang memuaskan. Pas-pasan.
Justru aku merasa
mati, tidak hidup.
Tadi pagi aku terbangun dan bangkit, baru akan mencoba untuk
hidup. Menghidupi kehidupan yang sesungguhnya. Bahwa aku tidak mau, tidak bisa,
dan tidak boleh terus-terusan seperti itu.
Aku harus bisa mencetak perubahan
dan mengembangkan diriku sendiri, dari segi apapun. Tak mau lagi seperti
kemarin, seperti anak SMA yang hanya tau sekolah tanpa tau buat apa, kelak akan
bagaimana, dan mau jadi apa. Kalau cuma kuliah, sedikit belajar, main-main dan
minta duit, apa bedanya aku dengan saat SMA? Tidak ada. Sungguh buruk, kan? Betapa
kasihannya aku kalau masih saja menikmati zona nyaman sebagai benalu, seperti
tak tau apa artinya hidup yang sesungguhnya.
Belajar yang rajin
dan menjadi berprestasi itu sudah cukup membuat Ibu bangga, katanya. Tapi, kok
garing ya? Lagu lama, sudah basi. Tenang saja, Bu, aku akan menjadi lebih dari
itu. Yang InsyaAllah tidak akan (lagi) mencampur-adukkan kebutuhan pribadiku
bersama tanggunganmu. Sudah cukup banyak beban yang kaupikul, meski kaupikir
aku tak tahu. Tapi sungguh, aku melangkah untuk sedikit merasakan bagaimana
pekerjaan sehari-harimu, dan bagaimana berjuang untuk seamplop uang.
With love,
A daughter who wants to be as great as you, Mom.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Sederhana, tidak sempurna, kesalahan pasti ada. Bagaimana menurutmu?