Oleh: Cecelia Dwi W
Narasumber; Galuh
Setia Winahyu, M.Psi.,Psi.
Supervisor
& People Development di Graha Karir ECC UGM
Dosen
STIPSI Yogyakarta
Pandangan
‘anak broken home’ menurut banyak
orang adalah anak yang menjadi korban cerai orangtuanya, yang tidak lagi
tinggal dengan orangtua yang utuh. Namun pernyataan tersebut salah. Broken home tidak selalu terjadi akibat
perceraian, namun fungsi keluarga yang tidak lagi berperan dengan baik.
Ada
orangtua yang mempertahankan keluarganya, tidak cerai hanya karena menjaga
perasaan anaknya. Namun tetap bisa menjadi broken
home apabila anggota keluarga tersebut sudah tidak menjalankan perannya
dengan baik. Faktor utamanya adalah tidak adanya komunikasi yang bagus antara
anggota keluarga.
Perceraian
orangtua tidak selalu berdampak pada anak yang menjadi nakal. Semua itu
tergantung pada pola asuhnya sejak dini, serta lingkungan yang nyaman. Karena
dua hal tersebut dapat menjadikan anak terbuka pada kedua orangtuanya. Jika
tidak, anak tidak berani menyampaikan maksud dan amarahnya kepada orangtua
‘jangan cerai,’ sehingga ia mencari pelarian untuk mendapat perhatian.
Untuk
menghilangkan rasa luka bagi anak korban perceraian, usahakan dengan kegiatan
positif supaya dapat mengalihkan perhatian dari sesuatu suram yang ada di
rumah. Dalam dirinya pasti ada kekecewaan, tapi kedua orangtua yang masih
komunikasi dengan baik akan dapat meminimalisir perasaan anak tersebut.
Jika kita memiliki
teman yang sedemikian, support-lah agar tetap semangat, jadilah teman
curhatnya agar ia tak memiliki banyak beban. Anak itu pasti susah mengungkapkan
permasalahannya, namun jika sudah dipancing pasti akan mengalir dengan
sendirinya dan akan membuatnya lega.
Jika ia terpuruk
terlalu dalam harus ada penanganan intensif, guru BP di sekolah atau konsultasi
ke psikologi.
Galuh Setia Winahyu, M.Psi.,Psi |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Sederhana, tidak sempurna, kesalahan pasti ada. Bagaimana menurutmu?