Tepung beras
yang sudah terkukus pulen dimasukkan ke dalam wadah, ditempatkan pada loker
gerobaknya. Bocah ragil yang berusia sepuluh tahun itu senantiasa membantu
persiapan yang dilakukan bapaknya di siang hari. Tangannya begitu lihai
mengadukan pisau dengan benda berwarna cokelat yang telah tercetak dengan
tempurung kelapa. Wadah plastik bekas sosis instan itu menjadi tempat
bertautnya rajangan gula jawa yang lembut. Gula pasir, kelapa dan parutannya,
telah ia letakkan di gerobak. Tak lupa ia mengelap daun pisang dan menumpuknya dengan
kertas koran.
Setelah
memasukkan kompor ke dalam gerobak, Pak Udin menumpangkan panci yang berisi air
untuk direbus selama perjalanan. Setelah berpamitan dan anaknya mencium tangan,
perlahan ia kayuh sepeda tuanya, berangkat kerja mencari nafkah. Ia keliling
mengitari perkampungannya dan lanjut berjalan menjajakan dagangannya.
***
Belva
menyampirkan handuk di tempatnya. Setelah mandi, ia berniat hendak menghias
diri di depan meja rias kamarnya. Sebelum masuk kamar ia baru menyadari satu
hal; rumahnya mendadak sepi. Tak terdengar satupun tanda keberadaan orang
selain dia. Lantas ia berjalan celingukan mencari-cari anggota keluarganya yang
lain. Ruang makan, ruang tengah, ruang tamu, dan bahkan setiap kamar telah ia
pastikan bahwa penghuninya tidak diketahui keberadaanya.
“Loh,
kalian di sini? Orang-orang yang lain pada ke mana?” tanyanya setelah ia
mendapati kedua adik kembarnya sedang bermain di taman samping rumah. “Mama,
papa, Mbak Ayu, Mbak Yuni, ha?” Pertanyaan itu berjejal di pikirannya, ia
keheranan.
“Mama
papa pergi, nggak tau ke mana. Tadi keliatan keburu-buru banget, nggak sempat
tanya deh.” Jawab Bedu sambil mendangak ke arah Belva.
“Mbak
Yuni tadi pergi sama pacarnya. Mbak Ayu ngerjain tugas,” sambung Banu tanpa
menatap lawan bicaranya. Ia terus asyik dengan mainan yang mungkin lebih
menarik.
Belva
mengembus napas kesal sebelum menggertakkan
langkahnya masuk ke rumah, kemudian menghempaskan dirinya di kursi ruang tamu.
“Huh! Kenapa
orang-orang udah pergi gitu aja sih? Mana belum sempat minta uang ke mama pula!”
rutuknya.
***
“Mbak,
kita lapar, tapi tudung saji nggak ada isinya.”
“Mama
papa kapan pulang?”
“Mbak
punya uang berapa?”
“Aku
pengen makan nasi padang.”
Bocah
kembar itu bersahutan di depan Belva yang sedang asyik tiduran di kamarnya. Namun
keluhan itu tidak diindahkan, ia justru dibuat kesal oleh keluhan yang mendarat
di telinganya. Ingin membentak tapi tak tega.
Setengah
jam lewat maghrib, orangtuanya belum juga memberikan kabar. Sedangkan kedua
kakaknya yang lain belum bisa pulang saat itu. Gadis yang sedang duduk di
bangku kelas dua SMP itu tak memiliki tabungan banyak. Maklum, kantong pelajar.
Ia berusaha
mengingat-ingat dan mencari di mana saja kemungkinan ia menaruh uang. Namun tak
bisa, hanya ada selembar uang di dompetnya yang nestapa. Uang kertas bergambar
wajah Imam Bondjol.
“Mbak cuma
punya uang segini. Nggak cukup buat beli nasi padang lauk ayam.” Ucapannya bagaikan
kabar buruk bagi kedua bocah itu, mereka langsung tertunduk lesu.
Di
tengah sepinya suasana malam, samar-samar suara mirip peluit terdengar dari
kejauhan. Si kembar saling menatap, kemudian muncul
pencerahan pada parasnya masing-masing.
“Kita
jajan itu aja! Lima ribu cukup buat bertiga!” ucap Banu semangat.
Tanpa
menunggu jawaban, Banu menyahut uang dari tangan kakak perempuannya itu. Mereka
berlari gontai keluar rumah, sesegera mungkin untuk memanggil dan menghentikan
penjual keliling yang sedang lewat mengayuh sepeda itu.
“Berapa
harga, Pak?”
“Satunya
lima ratus, Nak.”
“Beli
sepuluh, Pak!”
Kedua
bocah itu berkiprah menunggu pesanannya. Sambil berdiri di samping gerobak
sepeda bapak itu, mereka mengamati setiap detail gerakan tangan penjual.
Jajanan
tradisional itu dibuat dengan cetakan dari bambu, bulat dan kecil. Panjangnya
tak lebih dari sepuluh senti. Setengah dari cetakan itu diisii adonan yang
terbuat dari kukusan tepung beras putih, kemudian diberi selingan gula jawa
sebagai bumbu dan pemberi rasa manisnya. Lagi, dimasukkan lagi adonan tepung
beras di atasnya. Dipadatkan. Pada akhirnya, warna cokelat gula jawa akan
menjadi penengah dari kedua sisi putihnya warna tepung beras.
Adonan
yang sudah dicetak tadi, diletakkan di atas lubang uap. Sebagai daya tarik dan
penggelitik perut selama pelanggannya menanti, penjual itu meletakkan daun
pandan dalam air yang direbusnya. Sehingga menimbulkan aroma wangi yang sedap
dihirup.
Melalui pendiaman beberapa menit,
penjual itu segera mengangkatnya. Kue ini sudah jadi. Dorongan dari tongkat
kecil akan membantu mengeluarkan kue dari cetakannya. Menatanya mudah, langsung
dipapankan pada kulit pisang yang sudah tertata dan berlambar kertas koran. Lagi,
ia melakukan hal ini pada kue-kue berikutnya. Begitu seterusnya. Sampai sepuluh
kue sudah tersaji dan siap dibungkus.
Namun sebelum
penjual itu menyudahi semuanya, ia menaburkan kelapa di bagian atasnya, dan
juga gula pasir. Sudah jadi. Karya bungkusan yang dibuat penjual itu tidak
seperti bungkusan nasi warteg atau nasi padang yang diikat atau diklip pada
sisi atasnya. Namun yang ditautkan adalah kedua sisi samping kanan dan kiri, dengan
stapler.
“Silakan,
Nak..” ucap penjual dengan ramah sambil memberikan kue pesanannya.
“Makasih,
Pak.”
Bedu
menyahut bungkusan itu dan dengan semangat mereka membawanya masuk rumah. Menghampiri
Belva yang sedari tadi duduk menantinya di teras.
Di
ruang tengah, mereka duduk sambil menonton televisi. Bedu tak sabar ingin
menyantap jajanan tradisionalnya itu. Setelah dibuka, heummmm... aromanya sangat
membius. Harum dan sedap. Apalagi kepulan uap kehangatan yang menari-nari lihai
di atas makanan itu. Semakin memikat jemari untuk mengambilnya.
Satu
kue diraih Banu terlebih dahulu, mulutnya kepanasan memamah gigitan pertamanya.
Ia mengibas-ngibaskan tangan di depan mulutnya yang terbuka. Lezat. Ia meniup-niup
kuenya sebelum melakukan gigitannya yang kedua.
Sepuluh
kue putu untuk ketiga kakak beradik yang sedang lapar. Meski kenyangnya tak
seberapa, tapi makanan tradisional yang rasanya gurih dan manis itu dapat
membuat perut terasa nyaman anti keluhan.
- Jumlah kata : 882 kata
- Menggunakan tiga kata 'kemudian'
- Masing-masing satu kata 'lantas' dan 'terus'
- Tanpa menggunakan kata 'lalu'
Sumber inspirasi dan hak milik gambar: http://awkulinerologi.wordpress.com |
Tantangan menulis #DeskripsiBakso